Artikel ini berisi hal-ikhwal kebudayaan Suku Bangsa Batak,
khususnya Batak Toba. Para Raja Parhata, Pande Hata, Parsinabung, Raja Adat,
Pemuka atau Tokoh Adat atau siapa saja yang berminat untuk mengkritisi dan
memberi bahan masukan konstruktif pasti kami terima dengan senang hati. Boleh
ditulis dalam bahasa Batak Toba maupun dalam bahasa Inggris. Perlu
diberitahukan, data dan informasi yang disajikan oleh pengasuh sewaktu-waktu
mengalami pemutakhiran.
Isi Artikel ini secara garis
besarnya memaparkan tentang:
- Orang
Batak
: Di bonapasogit dan perantauan
- Tanah
Batak
: Tapanuli dan sekitarnya
- Adat
Batak
: Dahulu dan sekarang
- Rumah
Batak
: Ruma gorga dan Sopo, Bius Parapian, Undung-undung
- Hata
Batak
: Sehari-hari, hata andung, Umpama dan
Umpasa, Kata Ungkapan, dll.
- Aksara Batak
- Lagu
Batak
: O Tano Batak
- Kalender
Batak
:
- Ulos
Batak
: Untuk Lahir, Kawin dan Meninggal
- Religi
Batak
: Religi Kuno dan sekarang
- Silsilah
Batak
: Mulai dari Si Raja
Batak (s/d generasi sekarang)
- Makanan Khas Batak :
Naniura, tinombur,sangsang, pinadar, ingkau andor, ingkau hau
atau sayur tumbuk (daun singkong) nanirabar.
- Perantauan Orang Batak
- Keunggulan Orang Batak : Mudah bergaul, Pembawa
damai
- Kelemahan Orang Batak : Late, teal,
elat
- Para tokoh Batak yang kukenal
- Para penulis buku tentang Batak
Apa itu Raja Parhata ?
= Juru bicara adat.
Apa latar belakangnya sehingga
pantas menjadi Raja Parhata ?
= Memahami hukum adat serta
penerapannya
Siapa yang memilih dia menjadi
jubir?
= Barisan semarganya
Apa saja yang harus dipahami Raja
Parhata ?
Segala seluk-beluk adat Batak pada
umumnya dan adat yang berlaku bagi rumpunnya semarga pada khususnya. Ini tentu
menyangkut sejarah suku bangsa Batak itu sendiri, termasuk pemahaman tentang
budayanya yang mencakup sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu (DNT),
adat-istiadat, silsilah marga, penggunaan ulos, pembagian jambar baik jambar
hata dan jambar juhut bahkan mengenai seni sastra, seni suara, seni pahat dan
ukir, arsitektur rumah orang Batak, dan lain-lain patut diketahuinya.
Dalam prakteknya, selaku juru bicara
adat yang mewakili kelompok marganya, maka ia harus menguasai hukum adat-
istiadat. Lebih dari itu ia harus mampu mencari solusi jika terjadi
perselisihan mengenai penerapan adat. Itulah sebabnya, Raja parhata itu
dilukiskan sebagai “ Panjaha di bibir, parpustaha di tolonan.”
Secara harafiah ; pembaca di bibir, pemilik perpustakaan di kerongkongan. Jadi,
seorang jubir adat itu harus berpengetahuan luas dan pandai berbicara, bahkan
harus pandai pula menangkis serta menerangkan apa saja yang ditanyakan
kepadanya.
Mengapa disebut sebagai “ raja ?”
Raja, dalam hal ini bukanlah
dimaksudkan sebagai penguasa tertinggi pada suatu kerajaan yang biasanya
merupakan warisan turun-temurun, atau orang yang mengepalai dan memerintah
suatu bangsa atau negara atau suatu daerah seperti sultan, melainkan hanyalah karena
orang yang disebut “raja” dalam adat –istiadat Batak itu adalah “ pemuka” yang
memiliki keistimewaan khusus termasuk kepandaiannya mengelola/ mengendalikan
jalannya upacara adat, baik skala kecil, menengah maupun pesta adat skala
besar. Menurut kamus bahasa Batak Toba– Indonesia adalah “ siboto uhum siboto
adat” yang artinya paham mengenai hukum adat serta penerapannya dengan
benar.
Jadi, ada beberapa kelompok atau
perorangan yang panggilannya saja bergelar raja ;
- Raja ni dongan tubu
= pemuka-pemuka dari barisan semarga
- Raja ni Hula-hula
= pemuka-pemuka dari barisan marga Hula-hula atau marga istri.
- Raja ni boru
= para pemuka dari barisan boru ( yang mengawini saudara perempuan)
- Raja naginokhon
= para pemuka dari kelompok undangan yang tidak termasuk (di luar) Dalihan
Na Tolu.
- Raja na ro
= tamu yang tidak direncanakan datang
- Raja panungkun
= seseorang yang ditugasi bersama (orang yang dirajakan) untuk menanyakan
pihak paranak misalnya dalam pesta perkawinan. Disebut juga “ Raja
panise”
- Raja pangalusi
= seseorang yang ditugasksan bersama atau dirajakan untuk menjawab atau
memberikan penjelasan kepada yang bertanya ( Raja panungkun)
- Raja bondar
= seorang yang ditugasi mwngatur dan mengawasi pembagian air ke
sawah-sawah.
- Raja pollung
= orang yang pandai dalam forum dialog atau diskusi.meskipun tanpa
persiapan . Juga disebut “parpollung tubu” yang artinya kefasihannya
berbicara sudah merupakan bakat dibawa lahir. Tanggapannya secara
cemerlang muncul pada saat itu.
- Tonggo raja = mengundang
para pemuka adat seperti: Hula-hula, dongan tubu, boru, dan dongan sahuta
untuk memusyawarahkan sesuatu pekerjaan/ pesta adat
- Orang Batak
Berbicara tentang orang Batak
maka tidak lepas dari nama SIRAJA BATAK. Sebab keturunannyalah suku bangsa
Batak. Siraja Batak mempunyai 2(dua) orang anak lelaki yaitu Ompu Tuan Doli dan
Raja Sumba. Yang pertama mempunyai seorang anak bernama Guru Tatea Bulan
sedangkan yang kedua mempunyai anak bernama Tuan Sorimangaraja. Guru Tatea
Bulan mempunyai anak bernama Saribu Raja, sedangkan Tuan Sorimangaraja
mempunyai anak benama Tuan Sorba Di Banua.
Begitu selanjutnya nenek-moyang
orang Batak beranak – pinak dan dalam kurun waktu yang belum diketahui secara
pasti mulailah membuat silsilah marga yang permanen, suatu silsilah yang jarang
terdapat pada suku bangsa lain. Bahkan untuk mereka yang tinggal di kota-kota
besar, hampir semua pengurus kumpulan marga yang disebut ” PUNGUAN MARGA”
membuat daftar anggota masing-masing lengkap dengan alamat, jumlah putra dan
putri serta tanggungan masing-masing. Bahkan Punguan Marga itu sudah membuat
Anggaran Dasar dan Angaran Rumah Tangga ( AD/ART) termasuk di dalamnya
pangaturan tentang prosedur pelaksanaan adat agar tidak terjadi bibit-bibit
perpecahan hanya gara-gara adanya perbedaan tatacara adat di kampung halaman
masing-masing.Dengan demikian orang Batak lebih mudah berkomunikasi, suatu
modal untuk memupuk persatuan dan kesatuan.
Sekarang ini, bilangan generasi
orang Batak menurut kelompok marga sudah ada yang mencapai generasi ke-24 atau
25 . Jika per generasi sekitar 20-25 tahun maka adanya marga-marga sudah
sekitar 400 s/d 5oo tahun. Namun ini bukan berarti Suku Baak di Indonesia
barulah selama itu. Diduga lama sekali sejak SIRAJA BATAK belum mengenal
marga. Berapa lama tidak mengenal marga, belum dapat diketahui pasti.
Namun menurut para sejarahwan, bangsa Batak termasuk bangsa yang tua di
Indonesia ini. Ada yang berpendapat bahwa hampir bersamaan dengan datangnya
nenek-moyang suku Jawa ( dari Tongkin Vietnam? )
Lalu timbul pertanyaan, SIRAJA
BATAK itu anak siapa ?
Tentang sejarah Siraja Batak sejauh
ini masih terus dikaji agar jangan sampai mirip dongeng atau legenda. Namanya
sering disebut para raja adat, tetapi sejarahnya sendiri tidak pernah tuntas .
Banyak versi sejarahnya. Sayang sekali, para sejarahwan Batak belum bersatu
membuat kesimpulan. Mungkin suatu waktu di masa datang.
Memang masih banyak yang harus
diteliti baik langsung di perpustakaan dan museum di negeri Belanda maupun
dengan menggali lebih dalam sejarah nasional. Sebagai contoh, ada yang
berpendapat bahwa asal muasal Tuanku Imam Bonjol yang makamnya di
Sulawesi Utara diduga dari Tanah Batak. Belum lagi tentang rumor mengenai Gajah
Mada.
Ada yang mengisahkan begini:
Siraja Batak itu nama aslinya adalah Raja Singa, anak kedua dari
Si Jolma (Raja Domia). Anak pertama ialah Jau ( kemungkinan: suku Jawa) dan
anak ketiga benama Si Ujung Aceh ( kemungkinan : suku Aceh).
Kemudian Siraja Batak mempunyai 3
(tiga) putra bernama Si Gao, Si Siak di banua dan Nai Alas.
Selanjutnya Si siak di banua
mempunyai 4(empat) putra bernama : 1. Haro ( Batak Karo) 2.Pakpak 3.
Djuonggu di Tano dan 4. Nagaisori ( Si Siak bagi) .
Pada generasi ke-6 dihitung mulai
dari Siraja Batak lahirlah yang disebut Sariburaja atau Sori Maraja yang kemungkinan
pula adalah Seriwijaya yang membentuk kerajaan Seriwijaya.
Berapa banyak penduduk bermarga
Batak di Indonesia ?
Penduduk yang bermarga Batak itulah
yang mendiami Tanah Batak (Tano Batak) antara lain wilayah Toba, Angkola,
Mandailing, Simalungun Tanah Karo, Pakpak Dairi. Pusat Tano Batak ialah Toba
& Pulo Samosir (Tobasa, belum lama satu kabupaten dimekarkan menjadi dua
kabupaten yakni Kabupaten Toba dan Kabupaten Samosir). Kini sedang berproses
usulan masyarakat agar Tapanuli menjadi Propinsi.
Wilayah –wilayah tersebut biasa
disebut oleh para perantauan sebagai Bona ni pasogit atau Bona ni pinasa. Pada
umumnya orang Batak tidak melupakan tanah kelahirannya. Jika lupa,
sewaktu-waktu tergugah dengan lagi populer ” O TANO BATAK….” Lagu ini
belakangan semakin sering diperdengarkan pada akhir pesta adat perkawinan di
Jakarta.
Pada tahun 1961 (hasil sensus)
penduduk yang mendiami wilayah-wilayah tadi 2.092.000 jiwa. Kemudian pada tahun
1983 atau dalam kurun waktu 22 tahun (1 generasi) menjadi 4.020.000 jiwa atau
hampir dua kali lipat.
Sekarang Tahun 2008 (setelah 25
tahun), bisa mencapai 8 juta jiwa. Jika dihitung dengan orang Batak yang
merantau ke luar 6 wilayah tadi, kemungkinan mencapai 12 juta jiwa. Di
Jabodetabek saja bisa mencapai sekitar 1 juta jiwa.
- Tanah Batak
Tanah Batak Raya (Tano Batak Rea)
mencakup Toba, Samosir, Mandailing, Pakpak Dairi, Simalungun dan Nias.
Sedangkan yang dimaksud Toba Holbung meliputi daerah sekitar pantai atau
pinggir Danau Toba seperti Bakkara, Muara, Balige dan Porsea. Holbung artinya
Tanah Batak relatif tidak subur,
tetapi juga tidak terlalu tandus. Berbeda dengan di wialah tetangga Sumatera
Barat. Mungkin karena pengaruh Gunung Berapi di Sumbar sehingga jauh lebih
subur. Selain bertani sawah beririgasi sederhana dan sawah tadah hujan,
penduduk Tanah Batak memelihara ternak; kerbau, sapi, kuda, kambing, babi,
ayam, bebek, dan juga memelihara tambak ikan tawar pada umumnya ikan mas.
Khususnya penduduk di Pulau Samosir
(pulau yang dikelilingi danau nan indah) tidak kekurangan ikan keperluan
konsumsi sehari-hari , tinggal menangkap di danau. Hasil tangkapan dijual
sebagian. Dulu , lebih dari 20 persen penduduk Pulau Samosir mencari nafkah
dari pekerjaan menangkap ikan di pinggir Danau Toba. Tetapi sekarang hanya
sedikit penduduk yang berprofessi nelayan karena ikan semakin langka akibat
berbagai faktor pengrusakan lingkungan dan kurangnya perhatian pemerintah
setempat. Air yang masuk ke Danau Toba adalah merupakan kontribusi seluruh
wilayah Tano Batak. Itulah sebabnya, uang tali air Danau Toba dibagikan
secara adil kepada masing-masing Kabupaten yang ada di Tano Batak. Jika tidak
dibagi secara adil, bisa menjadi kasus hukum.
Di Tanah Karo, sayur-sayuran segar
tumbuh subur. Demikian juga pohon buah seperti rambutan, mangga, dll bahkan
belakangan ini sayur mayur Tanah karo menerobos ke Singapura sebagai komoditi
ekspor.
Jadi, Danau Toba, obyek wisata yang
sudah dikenal dunia itulah yang juga sekaligus membawakan nama Sumatera Utara
sekaligus Indonesia, di samping Pulau Bali. Terjadinya danau ini pun punya
kisah atau legenda tersendiri. Sebagian masyarakat mempercaya legenda itu,
tetapi sebagian lagi hanya mempercayai bukti-bukti ilmiah. Hasil
Topografi Danau Toba menunjukkan bahwa di bawah dasar danau masih ada
misteri yang perlu dikaji lebih mendalam lagi.
- Adat Batak
Adat Batak itu sungguh khas dan
unik. Dalam waktu sekejap saja orang dapat memastikan bahwa acara yang sedang
berlangsung di hadapan mata itu adalah adat batak, hanya setelah melihat
kaum ibu-bapak di sana berpakaian ulos. Memang Ulos Batak itu sangat melekat
pada acara adat.
- Rumah Batak
Rumah Batak pada umumnya disebut
Ruma ( jabu/ jabu gorga) dan Sopo. Disebut ” ruma gorga” karena bagian depan
dan samping dihiasi dengan ukiran-ukiran.
Ciri khas rumah orang Batak sbb;
- Tangga rumah tidak boleh genap, harus bilangan ganjil (
3,5,7,9,11)
- Atap terbuat dari ijuk.( sekarang sudah diganti seng)
- Bentuknya seperti orang menyembah
- Di bagian bawah ada kolong (bara) untuk menyimpan
ternak.
- Di dalam bagian atas ada ruang bagian belakang(
songkor) untuk menyimpan padi sedangkan bagian paling depan bisa menjadi
tempat para peanbuh gendang ( parogung) jika penghuni rumah meninggal
saurmatua.
- Hata Batak
Hata Batak atau bahasa Batak, sama
halnya dengan bahasa-bahasa daerah lainnya tidak begitu populer di kalangan
generasi muda. Bahasa pengantar di rumah keluarga masing-masing sudah
didominasi bahasa Indonesia, bahkan ada yang telah menerapkan bahasa asing
misalnya bahasa Inggris. Alasannya supaya sejak kecil anak-anaknya memiliki
keunggulan dibanding teman-temannya sebaya atau teman sekolah.
Tidak sedikit orangtua, generasi tua
Batak menaehatkan agar putra-putrinya sedikit demi sedikit bisa berbahasa
Batak, namun nasehat anjuran orangtua dalam hal ini kurang mendapat
perhatian.Mungkin dianggap kuno. Bahasa daerah belongs to the past. Bahasa
Daerah tidak ada gunanya untuk pelulusan di sekolah. Bahasa Indonesia saja
susah untuk mendapat nilai bagus. Banyak alaan geneasi muda untuk tidak mempelajari
bahasa daerah.
Namun begitu, karena tetap banyak
orang Batak menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa pengantar atau bahasa
komunikasi sehari-hari di rumah, khususnya antara suami-istri, maka pada
umumnya anak-anak Batak bisa mengerti tetapi tidak bisa mengucapkan. Kalupun
dicoba mengucapkannya akan terdengar lucu dan terbata-bata, bahkan menimbulkan
arti dan makna yang berbeda.
Pertanyaan sekarang, jika generasi
penerus tidak lagi sanggup berbahasa Batak, , apakah kultur atau budaya Batak
itu akan punah dengan sendirinya ?
Orang Batak
Menurut Ensiklopedi Indonesia PT.
Ichtiar Baru- Van Hoeve, Jakarta, 1980
Batak. Sukubangsa penduduk Sumatera Utara yang mendiami
daerah mulai dari daerah Langkat, Deli Serdang dan Asahan bagian pegunungan
dataran tinggi Karo, daerah sekitar Pematang Siantar, daerah Danau Toba dan
hampir seluruh daerah Tapanuli, hingga daerah atal dan perbatasan Propinsi
Sumatera Barat.
Banyak unsur dalam adat –istiadat
Batak berasal dari zaman sebelum pengaruh kebudayaan Hindu masuk. Unsur-unsur
Hindu dalam kebudayaan Batak hanya sedikit sekali, sedangkan pengaruh agama
Islam sejak paruh pertama abad ke-19 datanglah dari Minangkabau di sebelah
Selatan, tetapi hanya sebatas daerah Mandailing, oleh karena penduduk Tapanuli
di sebelah utara Mandailing sudah terpengaruh agama Kristen Protestan yang
sejak pertengahan abad ke-19 disebarkan oleh perkumpulan penyiar agama dari
Jerman bernama Rheinesche Mission Gesellschaft.
Bahasa Batak, yang seperti halnya
dengan sebagian besar bahasa-bahasa di Indonesia terbagi dalam logat khusus,
yakni ”logat Angkola, Karo, Toba, Dairi, Simalungun dan Mandailing.”
Menurut perkiraaan statistik tahun
1968, sudah tercatat kurang lebih 3 juta orang Batak di Tanah
Batak, kecuali itu masih banyak tedapat di Sumatera Timur, sedangkan orang
Batak yang terpelajar atau perantau umumnya berada di kota-kota, tidak hanya di
Medan atau di Jakarta, melainkan di seluruh Indonesia, mereka berkarya dan
mencari nafkah di berbagai macam profesi dan lapangan pekerjaaan yang ada.
Desa adat di Tanah Batak ( Huta
atau Parhutaan dalam bahasa Batak Toba) terdiri dari sekelompok rumah besar
sebanyak 6 hingga 10 buah, yang berdiri di atas tiang dan yang masing-masing
didiami oleh keluarga-keluarga luas yang patrilokal. Kelompok-kelompok
kekerabatan yang juga sangat penting dalam masyarakat Batak adalah klen-klen
patrilineal yang kecil maupun besar, yang disebut marga. Suatu sistem
hubungan yang amat penting dalam kehidupan masyarakat pada umumnya adalah
sistem hubungan antara marga pemberi pengantin wanita dengan marga penerima
pengantin wanita ; yang pertama berkedudukan lebih tinggi dripada yang kedua.
Catatan:
- Suku bangsa yang menyandang sebutan Batak, tetapi
ditulis “ Bataac” terdapat di Pulau Luzon Tengah ( Filippina) yang hidup
dari berlandang dan berburu. Pada tahun 1975, Penulis yang pernah ke sana,
tepatnya di Baccarra ( mirip dengan daerah Kecamatan Bakkara di Tapanuli),
Kota Bataac, Propinsi Illocos Norte, berpenduduk sekitar 3 juta jiwa,
memang punya banyak persamaan dengan orang Batak di Tapanuli, khususnya
dari segi persamaan bahasa. Misalnya di sana dikenal kedua jenis selimut “
ulos dan gobar”. Kota Bataac adalah desa kelahiran almarhum Presiden
Ferdinand Marcos. Penulis sempat menitipkan sebuah Ulos Batak sebagai
kenang-kenangan bagi para pengunjung perpustakaan di Kota Bataac. Waktu
itu dierima oleh Walikota, Mayor Asunction. Bahasa sehari-hari mereka
adalah Ilocano, bukan Tagalog. Tetapi kalau di Ibukota Filippina, Manila
mereka menggunakan bahasa Tagalog yang sudah disahkan menjadi bahasa
nasional negara itu. Postur tubuh mereka terutama bentuk rahang mempunyai
kemiripan, “ marsuhi-suhi opat dalam bahasa Batak atau rectangular
dalam bahasa Inggris). Lapangan pekerjaan yang menarik minat mereka pun
tidak jauh dari orang Batak di Indonesia yaitu, professi guru, tentara,
pengacara, politikus, petinju, supir bus dan mobil angkot Jeepney, Mereka
kurang berbagat dalam dunia perdagangan kepariwisataan, dll.
- Kata Batak, menurut Kamus Batak Toba- Indonesia berarti
: tunggangi dan pacu ( kuda). Supaya kuda tunggangan belari cepat, maka
kuda harus dibatak. Sedangkan” batahi” merupakan tongkat kecil
panjang dipakai mencambuk tenak besar seperti kerbau, kuda dan lembu
atau sapi. ( mangalinsing horbo, hoda, lombu)
BERBAGAI PENDAPAT TENTANG ORANG
BATAK
- 1. Orang Batak itu Patrilineal murni
Apa yang kita kutip dari ensiklopedi
di atas masih merupakan sekilas data informasi tentang apa dan bagaimana itu
sukubangsa Batak. Namun bahan masukan dari ensiklopedi tersebut lumayan sebagai
pembuka dialog lebih luas tentang sukubangsa yang atu ini.
Memang orang Batak merupakan ” patrilineal
murni” Artinya anak harus mengikuti garis keturunan ayah.
Pertalian keluarga atau keturunan menurut garis Bapak. Jadi, kalau si
Bapak bermarga Panjaitan, maka anak-anak serta keturunanya laki-laki wajib
menyandang marga tersebut. Sedangkan anak perempuan mengikuti marga lain,
melahirkan keturunan bermargakan suaminya.
Walaupun perempuan Batak kawin
dengan bukan Batak, ia tidak boleh memberikan warisan marga kepada
anak-nakanya. Mungkin saja, ia kawin dengan bukan orang Batak, lalu suaminya
diberikan marga Batak, umumnya mengambil marga dari Amangborunya. Hal seperti
ini tentu, melalui proses adat yang cukup panjang, barulah keturunanya berhak
memakai marga Batak. Ini disebut ” adat mangain marga” Jika sudah
melalui proses adat yang benar, maka jelas pula status dari suami boru Batak
tersebut, dan berhak mendapat nomor urut marga, katakanlah semacam password
membuka pintu masuk ke gelanggang adat-istiadat Batak ( ruhut-ruhut paradaton).
Tanpa jelas lebih dulu
perolehan nomor urut dalam jenjang marga yang disandangnya, maka ia tidak
boleh sembarangan memanggil orang lain, apakah sebagai abang, ito, lae, amang
tua, amang uda, dan sebagainya. Malah suatu saat ia bisa didakwa sebagai
penipu.
Jadi kalau sudah mendapat nomor urut
15 ( bahkan dalam keluarga yang menerimanya sebagai anggota baru harus
ditentukan pula posisinya apakah menjadi si bungsu kedua atau paling bungsu) ,
maka kepada tingkatan nomor urut 14 ia memanggil bapa, sedangkan kepada
tingkatan nomor urut 16, ia memanggil anak, dan sebutan yang menunjukkan posisi
dalam kekerabatan. Ini membuktikan bahwa adat Batak yang tidak lepas dari
falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) itu bisa fleksibel, selalu ada jalan keluar dari
masalah, tidak ada istilah persoalan buntu, segala sesuatunya dapat diatur,
namun tidak boleh digampangkan atau cenderung melecehkan norma dan hukum adat.
Sedangkan bagi pria Batak yang
mengawini wanita bukan Batak, tidak sesulit proses adat bagi wanita Batak kawin
dengan bukan Batak. Tetap juga namanya ” mangain marga” tetapi sudah
menjadi hukum adat bahwa pihak Tulang dari pangantin pria memperlakukan siapa
saja yang menjadi istrinya, tetap sebagai putri atau ”boru Tulang” yang dengan
kata lain, hanya dengan menjalankan proses adat kecil, pengantin perempuan
bukan Batak tadi berhak memakai marga dari Tulang suaminya, dan pengantin
perempuan berhak memanggilnya sebagai ”Amang”
Konsekuensi dari Patrilineal murni
terasa dalam hal pembagian warisan orangtua yang disebut ” patrimunium.” bahwa
anak laki-laki lebih banyak perolehan warisan daripada anak perempuan, dan di
antara sesama anak lelaki pun tidak sama porsinya. Yang sulung mendapat lebih
banyak dari adik-adiknya. Tetapi menurut hukum adat, warisan rumah menjadi hak
dari yang paling bungsu. Tentu pengaturannya dan pembagiannya hendaknya
dihadapan raja-raja adat sebab masih ada detil pembagian warisan.
- 2. Orang Batak itu ingin berketurunan banyak
Pada zaman dulu, setiap orang Batak,
baik laki-laki maupun perempuan sama-sama menghendaki adanya keturunan yang
banyak. Mengapa?
Pertama karena lahan persawahan dan
kebun di sana luas sehingga membutuhkan tenaga yang banyak untuk mengolahnya.
Kedua, karena mempunyai keturunan
banyak dianggap kebanggan tersendiri. Ini menyangkut ”hagabeon” yang
diidam-idamkan orang Batak. Sejak pengantin diberikan berbagai ulos oleh
Hula-hula termasuk Tulang, semua yang menyampirkannya memberi doa restu agar
pengantin diberi keturunan banyak, sesuai dengan kata ungkapan atau umpasa:
beranak laki-laki 16 dan beranak perempuan 17 orang.” Maranak sampulu onom
marboru sampuluh pitu. Itu zaman dulu. Sekarang alur pikir masyarakat Batak
berubah cepat mengikuti seruan pemerintah agar mengikuti program Keluarga
Berencana. Akibatnya, kata-kata ungkapan tadi hampir tidak pernah didengar
lagi, Paling sering dikatakan, maranak pe riris marboru pe torop. Artinya lahir
banyak anak laki-laki dan banyak pula anak perempuan, tanpa menyebut jumlah 16
dan 17.
Istilah ” Sitorop partubu”
mengandung arti bahwa banyaknya anggota keluarga juga kebangganan dalam tata
pergaulan atau kekerabatan, sebab biasanya dalam pengambilan keputusan atau
hasil mufakat pada umumnya tergantung pada apa yang dikatakan oleh mereka yang
rombongannya banyak, dan ini berkaitan dengan banyaknya keluarga dari satu klen
marga.
- 3. Orang Batak itu Religius, Cinta Keadilan, Jujur
Kepribadian orang Batak selain
dipengaruhi oleh keadaan alam, juga dibentuk oleh silsilah marga, Falsafah
DNT, dan juga ungkapan-ungkapan yang berlaku dan berurat berakat mempengaruhi
pikiran dan perilaku. Tetapi dengan masuknya agama, baik agama Kristen maupun
Islam ke Tanah Batak, maka religi kuno ditinggalkan secara ramai-ramai.
Namun sampai sekarang masih ada yang
bersikap mendua, dan sebagian kecil bertahan menganut aliran kepercayaan yang
disebut agama parmalim, khususnya di Huta Tinggi, Laguboti- Balige. Komunitas
kecil ini sudah sering didatangai oleh pihak Zending atau misionaris Kristen
Protestan, tetapi mereka tetap tidak bergeming.
Tentang religi dan spiritualitas orang
Batak akan lebih jauh dikupas pada bagian lain berjudul ” Spiritualitas Orang
Batak”dengan mengangkat berbagai pendapat para tokoh orang Batak.
- 4. Orang Batak itu Gemar Menyanyi dan main Catur
Pada umumnya orang Batak
senang menyanyi. Bahkan terkadang timbul penilaian orang bahwa tidak ada orang
Batak yang tidak pandai bernyanyi. Padahal tidak begitu yang sebenarnya. Banyak
orang Batak samasekali tidak bisa menyanyi. Mungkin karena sejak kecil tidak
diajar untuk menyanyi dan belajar main gitar.
Tetapi, memang harus diakui bahwa
cukup banyak orang Batak pandai bernyanyi tampil di radio, televisi dan arena
hiburan lainnya. Kalau diambil rata-rata, dibanding suku bangsa lain, boleh
dikatakan suku bangsa yang satu ini mempunyai segudang bibit penyanyi berkaliber.Mengapa
begitu ? Banyak faktor penyebabnya.
Pertama, orang-orang Batak yang
tinggal di daerah pengunungan sudah terbiasa sejak kecil bersuara keras. Sebab
untuk memanggil dari satu rumah ke rumah dekatnya harus dengan suara keras,
kalau tidak, suara kecilnya ditelan angin yang memang betiup deras. Akibat
kebiasaan tersebut, maka secara alamiah orang Batak mempunyai satu modal untuk
bernyanyi karena vocal suaranya tinggi, bisa berada di nada C.
Kemudian dengan masuknya Agama
Kristen yang memberlakukan acara ibadah di gereja dengan doa, kotbah dan
nyanyian sehingga orang Batak bisa memupuk modal suara kerasnya dengan
bernyanyi menggunakan peralatan musik. Namun begitu, sebelum datangnya agama
Kristen, orang Batak sudah pandai menari, bernyanyi dan memainkan suling,
gendang, ogung yang menyatu dengan acara adat.
Demikian halnya dengan penilaian
bahwa orang Batak itu jago-jago bermain catur. Alasannya hampir sama
dengan mengapa dinilai jago menyanyi. Orang Batak memang senang meraih predikat
juara termasuk memenangkan pertandingan olah pikir, sehingga tepatlah papan
catur dijadikan arena pembuktiannya.
Di Tanah Batak, para remaja di
kedai-kedai tuak sudah terbiasa berkumpul mengutak-atik 64 petak papan catur.
Baik di Toba Samosir, Tanah Karo dan wilayah lainnya pemandangan ramai-ramai
mengelilingi orang kuat atau jago catur sedang bertanding pakai uang taruhan
atau tidak, sudah merupakan pemandangan biasa. Namun kebanyakan secara alamiah
saja, kurang mendapat bimbingan teoritis sehingga dari sekian banyak
bibit-bibit pemain catur di Tanah Batak, boleh dibhitung jari jumlah orang yang
sampai pada taraf Master.
- Tanah Batak
Tanah Batak ( Tano Batak) dilukiskan
sebagai suatu daerah yang indah dan tidak akan pernah terlupakan. Syair lagu O
TANO BATAK sangat jelas merefleksikan betapa cintanya orang Batak terhadap
Tanah Btak di amana mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Tanah Batak sebelah Utara berbatasan
dengan Aceh, sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Sumatera Barat.
Tanah Batak pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang, bahkan sampai Bakkara
dibumihanguskan Belanda pada zamannya Raja Sisingamangaraja XII.
Menurut Kamus Bahasa Batak Toba,
arti kata Sisingamangaraja adalah seperti berikut : Si ( kata sandang), singa (
pola, contoh), mangaraja ( maharaja). Jadi Sisingamangaraja I adalah
Raja Manghuntal Sinambela yang hidup pada abad ke 16 di lembah Bakkara,
merupakan generasi ke-8 dari Si Raja Batak. Untuk menentukan Sisingamangaraja
ke-2 sampai ke-12 bukanlah karena terpilih oleh suara terbanyak tetapi oleh kesanggupannya
menghunus keris Gaja Dompak. Keris atau pisau ini dikabarkan masih berada di
Museum Belanda.
- Adat Batak
Adat-istiaat Batak, sebagaimana
halnya adat suku bangsa lain merupakan aturan yang belaku karena sudah menjadi
suatu kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Bila dilaksanakan dengan
benar maka mendapat pujian, bila menyimpang menimbulkan amarah masyarakat
lingkungan adat tersebut.
Adat itu ada yang disebut adat penuh
yang berarti tidak ada lagi sisa hutang adat. Sedangkan yang tidak penuh
berarti masih terhutang adat yang harus dilunasi kelak pada waktu yang tepat.
Misalnya bila seorang pemuda melarikan
putri yang tidak semarga dengan dia, tetapi sete;lah dilarikan diberitahukan
kepada keluarga perempuan tersebut dengan cara mengirimkan ekor daging
babi, dan bebeapa hari kemudian melakukan pekerjaan adat memohon maaf kepada
keluarga perempuan (yang dalam hal ini menjadi hula-hula) dengan apa yang
disebut ” manuruk-nuruk”maka disebut adat yang belum penuh, masih
dilanjutkan lagi suatu waktu kelak dengan yang disebut ” Mangadati.”
Terkadang pelaksanaan adat tidak
selalu sebagaimana diharapkan, malah terkadang dinilai sudah luntur atau rusak
karena banyak yang berubah dan bagi pihak lain menimbulkan kesan
pelaksanaan adat itu sebagai main-main saja atau tidak serius. Untuk hal
seperti ini sering terdengar ungkapan dari Raja parhata ; ” Pauk-pauk
hudali pago-pago tarugi. Na tading taulahi, nasega tapauli. Artinya masih
bisa adat yang tertingal diulangi dan yang yang salah diperbaiki.
Orang yang selalu berpegang pada
ketentuan dan hukum adat disebut ” paradat” tetapi orang yang tidak
melaksanakan adat disebut : ” naso maradat” atau orang yang tahu adat.
Sedangkan orang yang dikucilkan dari suatu lingkungan adat disebut ” si
pulik adat.” Misalnya seseorang yang senang atau sering menjamu tama
disebut ” paradat.”
Berikut ini sejumlah pedoman
atau acuan mengetahui apakah seseorang pantas dibeut ” paradat” atau tidak.
1. Tidak beradat jika
seseorang bercanda dengan baonya ( istri dari ipar/laenya)
2. Tidak beradat kalau
gadis yang mengejar pemuda. ( Naso jadi borua manandangi baoa)
3. Tidak beradat jika
tidak mengerti pembagian daging adat maupun memberi kesempatan kepada orang
yang berhak bicara untuk mengucapkan sesuatu ( Naso maradat molo so diboto
parbagi ni jambar juhut dohot jambar hata)
4. Tidak beradat kalau
tidak menghormati dan menghargai Tulangnya ( saudara laki-laki dari ibu kita) .
Tulang itu dalam bahasa Batak dimaknai sebagai ” Sitopap salimbubu” artinya si
penepuk ubun-ubun karena tulang itu dianggap yang memberi nafas kehidupan
kepada beenya. Tidak beradat kalau mertua laki bejalan berdua-duaan dengan
mantu perempuannya ( parumaen).
4. Rumah Batak
Berbicara tentang rumah tidak lepas
dari bentuk bangunannya yang tentu memiliki arti khusus. Tentang
arsitektur Rumah Batak, khusunya yang disebut ” Ruma Gorga” penulis sendiri
dalam suatu perjalanan tugas jurnalistik pernah berbincang-bincang dengan
almarhum Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum. Beliau sangat memuji rekayasa dan
arsitektur Rumah Batak. Apanya yang mengesankan beliau ?
Pertama , katanya sewaktu seseorang
memasuki rumah Batak, sebelum seseorang melangkahkan kaki menaiki tangga rumah,
orang tersebut otomatis menundukkan kepala, bahkan membungkukkan badan sebatas
tingginya papan pembatas yang letaknya melintang di atas kepala dan tegak lurus
di atas anak tangga pertama, kalau tidak, maka kepala akan membentur papan
membuat kaget dan mengaduh.
Disain begini menurut beliau dapat
diartikan bahwa sebelum memasuki kediaman seseorang hendaknya kita merendahkan
diri, jangan serta-merata menegakkan kepala. Dengan kata lain, orang yang
datang harus menjaga kesopansantunan, tidak boleh berbuat keonaran.
Kedua, menyangkut rekayasa
balok panjang dan utuh yang disebut kuda-kuda yang bentuknya melengkung
memanjang dari depan hingga belakang, ketahanannya luar biasa, dan nilai
seninya tinggi. Bentuk melengkung atau bersikap menyembah itu pun menurut
Ir. Sutami sekaligussebagai simbol bahwa pemilik rumah ( Orang Batak)
senantiasa menyembah kepada Pencipta Alam Semesta.
Jadi, konstruksi rumah Batak itu
seakan-akan meniru postur atau sikap manusia yang mengatupkan tangan,
mengangkatnya tinggi, lalu menyembah atau mempersembahkan sesuatu. Sungguh
mengagumkan saya, ucapnya. Menurut penjelasannya, ia berniat membentuk
tim untuk mempelajari arsitektur Rumah Batak, hal mana penting untuk menambah
pengetahuan dalam rangka bahan masukan membangun perumahan nasional ( Perumnas)
atau real estate.
Menurut Ensiklopedi Indonesia
pertama ( Diterbitkan PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve- Jakarta), secara ringkas
diuraikan tentang arsitektur rumah Batak sbb;
Rumah tradisional orang Batak
meliputi beberapa tipe dengan perbedaan yang jelas, antara lain:
- Tipe rumah tradisional Batak Toba yang memberi kesan kekokohan karena konstruksinya
terbuat dari tiang-tiang gelondongan. Dulu, karena pertikaian antarsuku
masih sering terjadi, rumah-rumah dikelompokkan sebagai benteng di atas
bukit dan lingkungannya dikelilingi oleh pagar pohon ( bambu, dll) yang
rapat.
Di dalam lingkungan perumahan
tersebut berjejer behadapan dua tipe rumah yaitu : Rumah jantan yang tangga
masuknya dari kolong rumah, dan rumah betina yang tangga masuknya dri depan.
Kolong rumah yang tingginya setinggi orang dipakai sebagai kandang ternak.
- Rumah tradisional Batak Karo adalah tipe rumah pegunungan. Pintu depannya
dihadapkan ke arah hulu (julu) dan pintu belakang ke arah muara (jahe).
Bentuk atap rumah Kepala Marga berbeda dengan bentuk atap rumah-rumah
lainnya , yaitu; bermahkota tingkat.
Umumnya denah rumah Batak Karo
direncanakan untuk keluarga jamak. Rumah tersebut mempunyai lorong tengah yang
lantainya lebih rendah dari bagian sisi lainnya, di mana terdapat kamar-kamar
untuk masing-masing keluarga. Pria dewasa mempunyai ruang tersendiri.
- Rumah tradisional Batak Simalungun, bentuk atapnya kadang-kadang tidak simetris. Mahkota
atapnya menghadap ke empat arah dan dihias dengan hiasan yang berbentuk
kepala kerbau.
Di perkampungan Batak Simalungun
biasanya terdapat ” balau butu” yang berfungsi sebagai gardu jaga atau tempat
bermalam para pelancong. Letak baugugan ini adalah di dekat pintu gerbang
kampung.
NB: Hiasan rumah Batak umumnya
berpola geometrik atau ukiran cetek. Dulu pewarnaan hiasan dibuat dari getah
tumbuh-tumbuhan, lumpur, kapur, dan bahan mentah alam lainnya.
Selain rumah ( rumah gorga atau
sopo), masih ada bangunan-bangunan lainnya yang dipakai untuk keperluan
sehari-hari antara lain:
- Bius atau Sopo Godang ( tempat bermusyawarah raja-raja adat maupun para
pemimpin informal).
Dulu adanya Bius merupakan salah
satu persyaratan untuk membuka perkampungan atau parhutaan ”huta”. Tanpa adanya
bius yang letaknya di tengah perkampungan atau di pintu gerbang masuk
perkampungan, maka permukiman tersebut tidak layak disebut huta. Di dalam bius
inilah dimufakati hal-hal mengenai adat-istiadat dan perkara hukum yang
dianggap penting dan keputusan bersifat mengikat bagi semua penduduk.
- Parapian
( tempat pembakaran sampah membuat pupuk kandang)
Tanpa dinding. Atapnya dari
alang-alang atau ijuk. Tiangnya dari bambu atau tiang kayu
- Undung-undung
( tempat berteduh di dekat persawahan atau di tengah lahan kebun) .
Atapnya dari alang-alang atau ijuk.
Tiang dari bambu atau kayu yang sederhana. Dinding dari bambu getek.
- 4. Mual
- Tempat Pemakaman
(Udean/ Partangisan/ Tambak)
- Hata Batak
Hata = kata atau perkataan. ( Hata
Batak = Bahasa Batak)
Dihatai = dibicarakan, dibincangkan
Dihatahon = dikatakan
Dipahata-hata = dipergunjingkan
Manghatahon ( baca: makkatahon) =
mengatakan, mengucapkan
Manghatai ( baca: makkatai) =
berbicara
Manghata-hatai ( baca:
makkata-hatai) = bebicang-bincang
Parhata = seorang pandai bicara
Raja parhata = juru bicara dalam
acara adat
Sahata = seia sekata, sepakat,
sekata
Marhata-hata = berbicara sendiri di
luar kesadarannya ( kesurupan)
Patua hata ( melamar) =
meningkatkan hubungan cinta muda-muda menjadi pembicaraan dan rencana
perkawinan.
Hata Batak atau Bahasa Batak tidak
sesulit bahasa suku bangsa lain. Mudah dipelajari dan mudah pula diucapkan,
bahkan logat ucapannya pun mudah ditiru orang lain yang bukan orang Batak.
Dalam adat-istiadat dikenal adanya ”
jambar hata” yaitu semacam hak dan kewajiban untuk mengucapkan sesuatu
pada acara adat. Jika sampai misalnya giliran ini tidak diperolehnya, maka bisa
menimbulkan perasaan tidak ada lagi saling menghormati, bahkan protokol
diingatkan agar susunan acara dibetulkan lagi. Jambar hata tidak kalah pentingnya
dengan jambar juhut atau hak memperoleh daging adat, antah apa pun nama daging
tersebut : Osang-osang, soit, rusuk, dll.
Malah terkadang, jika orang yang
tidak kebagian bicara tadi akan mengembalikan jambar juhut yang diterimanya,
dan ia pun pulang meninggalkan arena adat untuk melampiaskan rasa kesalnya.
Sungguh ini merupakan bagian hak
demokrasi adat. Tetapi hal-hal seperti ini pula yang membuat jalannya acara
adat ( misalnya pesta perkawinan, acara pemakaman, dll) memakan waktu
lama, malah terkadang terkesan bertele-tele, sebab dari apa yang telah
diucapkan oleh sesorang pada awalnya masih diulang-ulangi oleh pembicara
kemudian.
Jika diamati seksama, di kalangan
Batak terdapat beberapa logat sehingga ada yang disebut halus dan kasar.
Penekanan halus atau kasar bukan pada kepribadian dan sifat orangnya tetapi
dari segi ucapannya saja. Sehingga kita pun mendengar perumpamaan berikut ;
- Tapis ni Mandailing
- Laok ni Angkola
- Gugut ni Padangbolak
- Burju ni Toba
- Rimbang ni Hullang
Keterangan:
- 1. Tapis ni Mandailing
Tapis artinya saringan atau filter.
Mandailing ialah orang Batak yang mendiami daerah Tapanuli bagian Selatan.
Orang-orang dari daerah tersebut senantiasa menyaring pembicaraannya maupun
cara mengucapkannya kepada orang lain, sehingga terdengar amat lembut dan sedap
didengar. Meskupun ia marah, tetapi ucapan seseorang itu tetap lembut (
dampor-dampor).
Jadi, makna dari berbahasa agar
dapat disebut bagaikan “Tapis ni Mandailing”, yakni: hati boleh panas
tetapi kepala harus dingin. Orang Batak Toba dan Samosir pun banyak yang
berbahasa seperti dimaksud di atas, selalu menyaring ucapannya. Mereka
mempunyai peribahasa yang sangat populer untuk mengingatkan hal yang sama; Jolo
nidilat asa nibondut, = cium dulu baru telan.
- 2. Laok ni Angkola
Laok arti harafiahnya campur. Tetapi
dalam hal ini pengertiannya adalah murah dan ramah dalam pergaulan. Mereka yang
berbahasa demikian ini senang sekali punya banyak sahabat ( ale-ale). Tidak
hanya orang Batak yang bermukim di daerah Angkola, tetapi siapa berlaku bagi
siapa saja. Sebab bukan tidak sedikit orang yang tinggal di daerah Angkola
malah tidak ramah dan murah hati terhadap orang lain. Namun pada umumnya
demikianlah yang terjadi bahwa orang-orang dari Angkola itu senang bersahabat.
- 3. Gugut ni Padangolak
Gugut arti harafiahnya ”kunyah”
tetapi dalam hal ini pengetiannya ialah seseorang tidak senang atau merasa
lebih dulu ketakutan atau khawatir berteman dengan seseorang kalau dianggapnya
temannya itu lebih pandai dari dia, dan merasa kelak akan melecehkannya. Jadi
dikunyah-kunyah rugi labanya lebih dulu sebelum memutuskan berteman dengan
seseorang itu atau tidak.
- 4. Burju ni Toba
Burju arti harafiahnya baik hati.
Dalam hal ini pengertiannya sama ucapan dengan perbuatan, bukannya lain di
bibir lain di hati. Lekas berterus terang mengungkpakan ketidaksenangannya atau
ketidaksetujuannya terhadap sesuatu atau mengeritik seseorang, tetapi sampai di
situ saja, tidak disimpan di dalam hati, tiada dendam.
Jadi bukan hanya orang Batak Toba
yang dimaksudkan di sini, tetapi semua sub-etnis Batak, bahkan siapa saja
di bumi ini bisa menjadi ” parhata burju” tergantung pada ajaran yang
diterimanya sejak kecil. Burju yang dianjurkan Tuhan ialah; berbuatlah
sebagaimana kamu inginkan orang lain berbuat terhadapmu. – Injil Matius 7 ayat
12 ( Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi semua hukum Taurat dan kitab
para nabi. – Therefore all things whatsoever ye would that men should do to
you, do ye even so to them, for this is the law and the prophets.)
- 5. Rimbang ni Hullang
Rimbang adalah sejenis tanaman yang
tumbuh di semak-semak. Berdaun lebar dan buahnya bundar warna hijau. Rasanya
agak pahit, ttapi jika ditumbuk bercampur daun singkong rasanya enak.
Kata-kata yang dimaksud dengan kata
ungkapan di atas ini ialah adanya ucapan-ucapan seseorang yang dikira
mengatakan ”ya” tetapi maksud sebenarnya ” tidak” dan sebaliknya. Bisa pula
terjadi, dikira sudah bicara sungguh-sungguh tetapi rupanya hanya seloroh. (nirimpu
dogugutna, hape saitna. Nirimpu do burjuna, hape gaitna)
Berbagai istilah yang biasa
terdengar tentang makna hata dan marhata ( ucapan dan pembicaraan) , sbb :
- Hata pisik ( = pembicaraan yang boleh diketahui siapa
saja)
- Hata so pisik (= pembicaran rahasia berdua, jangan
sampai keluar terdengar orang lain.)
- Hata tarbortik ( = isu, kata terbetik, berita yang
belum jelas kebenarannya)
- Hata sirarion (= pembicaraan di luar yang resmi,
menyimpang dari pokok pembicaraan)
- Hata namasintuhu (= pembicaraan serius dan penting
sehingga harus sama-sama memperhatikan)
- Manghatai ma hita ( = Ajakan kepada semua yang hadir
agar secara resmi memulai pembicaraan, biasanya suasana pembicaraan adat)
- Hata Umpasa
- Hata tudos-tudos
- Hata mihin-mihin
- Hata naoto
- Hata siingoton
- Hata na so niantusan
- Hata Sigabe-gabe
- Hata Parhorasan
- Hata pasu-pasu
- Hata nauli- hata nadenggan
- Hata patujolo
- Hata huhuasi ni sipanganon
- Hata pangujungi/ Hata parpudi
- Hata mangampu
- Hata manungkun
- Hata mangalusi
- Hata panggohi
- Hata panogu-noguon
- Hata do parsimboraan
- Jolo diseat hata asa diseat raut
JATI DIRI ORANG BATAK ;
Bagaimana jatidiri atau kepribadian
orang Batak itu dibentuk sejak masa kecil, dan mendarah daging dalam kehidupan
sehari-hari?
Sebenarnya jati diri satu suku
bangsa manapun itu mudah dipahami melalui kata-kata ungkapan ( peribahasa/
tamsil) yang biasa kita dengar. Kata dan bahasa seseorang menunjukkan
siapa dia. Begitu juga UMPAMA, UMPASA, Hata Nauli, Hata Nadenggan dan kata-kata
ungkapan ( Pandohan Namarlapatan) dalam bahasa Batak , sungguh mencerminkan
siap orang Batak itu.
Kata-kata ungkapan di bawah ini
merupakan kata-kata nasehat, larangan/pantangan dan juga sekaligus anjuran dan
motivasi bagi orang lain agar berbuat yang terbaik sehingga ia bisa menjadi
berkat untuk orang lain di lingkungannya.
UMPAMA & UMPASA BATAK:
UMPAMA
( = Kata Berpantun )
Baca : uppama
- 1. Holong do mangalap holong à Kasih mencari (berbalas) kasih. Artinya; kasihilah
orang lain supaya Anda dikasihi. Atau : Berbuatlah kepada orang lain
sebagaimana kamu inginkan orang lain berbuat kepadamu)
- 2. Jempek do pat ni gabus.
= Bohong atau dusta itu kakinya
pendek. Artinya; perbuatan buruk itu cepat ketahuan.
- 3. Risi-risi hata ni jolma, lamot-lamot hata ni begu.
= Ucapan manusia itu kasar, tetapi
ucapan iblis itu halus lemah-lembut. Peribahasa ini mengingatkan supaya orang
jangan cepat tergiur pada kata-kata rayuan yang hanya enak didengar kuping,
padahal maksud dan tujuannya untuk menusuk dari belakang atau tipuan.
- 4. Jolo nidilat bibir asa nidok hata
= Pikir dulu pendapatan, sesal
kemudian tidak berguna. Pikirkan dulu baik-baik barulah ucapkan. Atau : jangan
sembarang bicara.
- 5. Ndang dao tubis sian bonana.
= Rebung tidak akan jauh dari
pokoknya. Ini biasa diucapkan untuk menilai perilaku orng lain atau untuk
menyimpulkan mengapa sampai terjadi kelakuan anak seperti itu. Oh, orangtuanya
pun seperti itu.
- 6. Jonok partubu, jonokan ( jumonok) do parhundul
= Dekat hubungan kekerabaan, lebih
dekat hubungan bertetangga.
- 7. Aek godang, aek laut. Dos ni roha sibahen nasaut.
= Hasil musyawarah untuk mufakat
itulah yang terbaik.
- 8. Molo manapol ingkon mananggal
= Kalau pernah menerima, harus ingat
memberi.
- 9. Mangalitohi baba ( mata) ni mualna.
= Mengeruhkan sumber airnya sendiri.
Artinya ; Seseorang yang merusak sumber mata pencahariannya.
- 10. Molo litok aek dapotan ma pandurung.
= Jika air keruh, penangguk ikan
akan mendapat.
- 11. Molo litok aek di toruan, tingkiron ma tu julu.
= Kalau air keruh di hilir,
periksalah di hulu. Artinya, jika generasi penerus kacau, maka kesalahan generasi
terdahulu patut dikaji ulang.
- 12. Suda arang ndang himpal bosi.
= Sudah habis tenaga dan waktu untuk
mengerjakan sesuatu, namun hasilnya tidak ada.
- 13. Marnehet-nehet songon api di sobuon .
= Pelan dan terus beraksi seperti
api di dalam sekam. Artinya, perkara atau perselisihan yang terus dibiarkan
tidak tuntas penyelesaiannya pada saatnya akan menggigit.
- 14. Tuit sitara tuit, tuit pangalahona. Molo tuit boru
i mago ( maila) ma ibotona.
= Perempuan yang suka mejeng atau
berbuat tak senonoh akan mempermalukan saudaranya laki-laki (ibotonya). Mengapa
demikian? Karena harga diri suatu keluarga kelak terletak di tangan anak
lelaki bila ayahnya sudah tiada. Jadi, para gadis Batak janganlah sampai
terkesan cewek jalang.
- 15. Nunut do siraja ni ompuna
= Bekerja terus walau pelan-pelan
merupakan cara paling efektif dan efisien.
- 16. Ndang di ahu, ndang di ho, tumagonan ma di begu.
= Tidak untuk saya, juga tidak untuk
kamu, lebih baik untuk hantu.
Ucapan ini dialamatkan kepada orang
yang berhati busuk ketika merasa kalah dalam perebutan harta, kekuasaan atau
hak-hak lain. Ia tidak merasa senang kalau temannya sendiri yang mendapatkan,
lebih baik pihak ketiga.
- 17. Tampulon aek do na mardongan tubu.
= Orang semarga itu bagaikan aliran
air ( sambung menyambung), jika dicoba diputuskan, sebentar lagi sudah menyatu.
Artinya; jangan coba-coba mengadudomba atau mencerai-beraikan orang semarga.
- 18. Ndang songgop onggang tu hadudu.
= Tidak sanggup burung enggang ke
padi-padian. Artinya tidak mungkin kehormatan dan kekuasaan datang kepada orang
bodoh
- 19. Unang songon taganing marguru tu anakna
= Janganlah seperti gendang
tergantung pada anaknya.Artinya, orang dewasa berpikir hendaknya bisa mabil
keputusan dan kebijaksanaan.
- 20. Songon sorha ni padati do parngoluon ni jolma.
= bagaikan roda pedati. Artinya
hidup ini mengalami perputaran, terkadang makmur, jatuh miskin. * Sorha = alat
pemintal benang.
- 21. Unang ma ganjang tangan manjalo, jempek ia
mangalehon.
= Janganlah tangann panjang kalau mnerima,
tetapi pendek giliran memberi. Artinya, seeorang yang cepat menerima dan sangat
senang, tetapi giliran memberi sangat segan atau enggan sekali.
- 22. Manjujung baringinna be do.
= Setiap keluarga punya identitas
dan harga diri, tak boleh didikte keluarga lain.
- 23. Marhapias songon napuran, marjungjungan songon hau.
= Yang besaudara tidak selalu sama
pangkat dan kekayaannya. Karena itu kalau menanggung beban keluarga tidaklah
ahrus bagi rata. Yang berpunya memberikan lebih banyak dan yang miskin memberi
semampunya.
- 24. Molo mate ina i, dohot do hape ama i panoroni.
= Kalau ibu meninggal, ayah itu pun
menjadi ayah tiri. Ini dikatakan untuk mengungkit pengalaman sedih hampir semua
anak-anak yang ditinggal mati oleh ibunya, Jika ayah kawin lagi, maka
sang ayah itu pun selalu berpihak pada istri baru.
- 25. Purpar pe pande dorpi bahen tu dimposna do.
= Tukang kayu betapapun pandainya
melakukan pekerjaannya pastilah menimbulkan suara bising , namun membuat rapi
hasil kerjanya. Artinya, boleh ribut dulu dengan sesama asalkan semuanya itu
menuju kebaikan dan makin mengakrabkan hubungan kekerabatan. * Purpar = bising
atau berisik seperti memakukan dinding papan ke dinding (dorpi)
- 26. Hata mamunjung hata lalaen, hata torop sabungan ni
hata.
= Pendapat sendiri adalah pendapat
yang tidak wajar, pendapat orang banyaklah yang jadi pedoman, dan jadi
keputusan. * tarpunjung = terpencil, terkucilkan.
- 27. Dapot imbo ala ni suarana, dapot ursa ala ni
bogasna.
= Tertangkap siamang karna suaranya,
tertangkap rusa karena jejaknya. Artinya, seseorang dapat dikenal dari tingkah
lakunya.
- 28. Bolus do mula ni hadengganon, jujur do mula ni
hasesega .
= Cepat melupakan perbuatan yang
tidak baik seseorang sumber kebaikan, tetapi suka menghitung perbuatan baik kita
menjadi sumber perselisihan.
- 29. Mambal-ambal idaon songon bortuk ni aili.
= Seseorang yang tampaknya tidak ada
pegangan atau ketenangan (tidak percaya diri.)
- 30. Masiamin-aminan songon lampak ni gaol.
= Saling memeluk seperti pelepah
pisang berlapis-lapis.
- 31. Bulung ni dapdap ma langkop. Ia i na adong ba ima
diparhajop.
= Apa yang ada sekarang , itulah
yang kita makan. ( Silakan makan apa adanya)
- 32. Sai dianggo lanok do na bau.
= Orang yang berperangai buruk akan
selalu mencari tempat yang buruk pula.
- 33. Ida-ida do na butong, jora-jora na male .
= Ketagihan bila selalu kenyang dan
jera kalau selalu lapar. Ini dikatakan sebagai pujian atas pelayanan pesta yang
baikdan suguhan makanan minumannya enak.
- 34. Ndang masianggoan timus.
= Sedang bermusuhan.
- 35. Masitungkol-tungkolan songon suhat di robean.
= Saling menopang seperti
keladi di bukit.
- 36. Parjoring sihaiton parpalia sidungdungon.
= Seseorang yang murah hati yang
merelakan apa yang ada padanya bisa diambil atau digunakan orang.
- 37. Situlluk mata ni horbo.
= Cepat-cepat tunjuk hidung
atau menunjukkan kesalahan orang lain agar jera dan tidak menghabiskan banyak
waktu membicarakannya.
- 38. Siat mamiding naeng mamolak.
= Diberi ruiang atau tempat
untuk tidur menyamping, malah ingin telentang. Ini sama dengan ungkapan: Siat
jari-jari naeng siat botohon = sudah muat jari, masih ingin lagi muat tangan.”.
Ini sindiran bagi teman yang tidak puas-puasnya mendapatkan sesuatu.
- 39. Tampakna do tajomna, rim ni tahi do gogona.
= Organisasi atau kumpulan orang
akan kuat bila tetap dalam kebersamaan dan seia-sekata.
- 40. Santipul so donganan samponggol so angkupan.
= Seseorang tak pantas untuk
ditemani karena samasekali tidak bisa dipercaya.
- 41. Anak do hamatean, boru hangoluan.
= Orangtua selalu memberi kepada
putra, dan selalu menerima dari putrinya.
- 42. Andalu do pasitik, manuk ni halak dapotan.
= Perkumpulan (punguan) yang
besaudara terlibat perselisihan tetapi orang luarlah yang mendapat keuntungan.
- 43. Sahalak maniop sulu, sude halak marsuluhonsa.
= Seseorang berbuat baik, semua
orang bergembira karena merasakan hasil perbuatan baik orang tersebut. Ini
diucapkan untuk menghargai perbuatan baik seseorang sekaligus mengharap agar
semakin banyak orang yang menjadi ”berkat” untuk orang lain.
- 44. Ala ni santanggo gabe hurang sabalanga.
= Gara-gara nila setitik rusak susu
sabalangan
- 45. Tu sundungna do hau marumpak .
= Pohon akan tumbang ke arah
condongnya. Artinya, seseorang itu akan menjadi seperti apa kelak, akan sesuai
bakat, talenta serta amal perbuatannya.
- 46. Sanjongkal tanggurung ndang diboto na maila,
santopap bohi ido siboto na maila.
= Orang bodoh dan tidak berbudaya
tidak ada rasa malu, orang pintar dan berbudaya itulah yang tahu malu.
- 47. Pitu batu martindi, sada do ianggo sitaon na dokdok.
= Tujuh batu bertindih tetapi
satulah menahan paling berat. Ini diucapkan menyadarkan seseorang bahwa pada
akhirnya meskipun banyak pendamping tetapi seoranglah menanggung beban
terberat.
- 48. Tampuk ni pusu-pusu, urat ni ate-ate .
= Si buah hati, anak yang paling
dikasihi. Artinya, dalam keluarga orang Batak selalu ada anak yang paling
dikasihi (anak hasian)
- 49. Maraprap na so magulang .
= Orang yang tidak jatuh, malah ikut
terluka. Maksudnya, jangan ikut terlibat dan melibatkan orang lain pada sesuatu
yang bukan urusannya.
- 50. Andilo nahinan hadang-hadangan saonari, na
pinarsinta sian nahinan dapotonmu ma saonari.
= Apa yang dahulu kamu cita-ciatakan
akan kamu peroleh sekarang.
- 51. Sirungrung na dapot bubu, siosari na dapot sambil.
= Seseorang yang mau melepaskan
terhukum dari hukuman sewenang-wenang. * rungrung = membalikkan sesuatu wadah
untuk mengeluarkan isinya, misalnya air.
- 52. Suhar bulu ditait dongan, laos suhar do i taiton.
= Jika seorang teman atau anggota
keluarga berbuat salah hendaklah dibela walau dalam hati mengakui hal itu
salah. Ungkapan ini sudah jarang diucapkan karena dinilai idak sesuai dengan
paham kasih dan kebenaran.
- 53. Eme na masak digagat ursa, ia i namasa ba i ma
niula.
= Padi siap panen dimakan rusa, apa
yang biasa dikerjakan kebanyakan orang itulah kita lakukan. Ungkapan ini juga
dianggap melemahkan insiatif orang sehingga makin jarang diperdengarkan.
- 54. Manginjam gogo sian gaja, manginjam bolang sian babiat.
= Meminjam kekuatan dari gajah
meminjam belang dari harimau. Artinya; seseorang yang memanfaatkan
temannya yang terpandang agar dalam suatu acara tertentu dia ikut sebagai orang
terpandang.
- 55. Manginjam ihur ni hoda.
= Meminjam ekor kuda . Artinya, seseorang
yang membangga-banggakan yang bukan barang miliknya.
- 56. Guamon do na so olo manusu, andorabion do na so olo
panusuan.
= Merupakan cela bila seseorang yang
berilmu, tetapi ilmunya tidak diajarkan dan seseorang yang bodoh tidak mau
belajar.
- 57. Miakna panggorengna.
= Seperti kebiasaan orang Batak
dahulu, karena langka dan mahalnya minyak goreng sehingga minyak/ lemak babi
itulah dipakai untuk menggoreng dagingnya. Ini dimaksudkan agar seseorang
jangan terlalu repot mencari modal usaha. Pergunakan saja apa yang ada,
mulailah dari usaha kecil.
- 58. Mambuat mas sian toru ni rere.
= Mengambil emas dari bawah tikar
buruk. Maksudnya agar jangan mengambil keuntungan dari jalan terkutuk ( korupsi
dan menipu)
- 59. Ranggas tumutung bonana.
= Mas kawin (sinamot) yang
telah diterima keluarga pengantin perempuan itulah yang diatur dan
dicukup-cukupkan untuk biaya pesta perkawinan. * Ranggas = ranting kayu yang
sudah tua dan cocok untuk kayu bakar.
- 60. Ndang jadi tanjungan ni ina nonang.
= Kaum ibu tidak boleh terlalu
mencampuri urusan adat yang sedang dibahas oleh kaum bapak.
- 61. Manubu-nubui hata
.
= Mengada-ada, menyiarkan berita
bohong.
- 62. Dipupusi na mate na mangolu.
= Orang mati merampas harta orang
hidup. Artinya; Keluarga yang ditinggalkan orang mati menjadi
susah karena yang mati itu meningalkan banyak hutang yang harus dibayar.
- 63. Ndang loja aek paihut-ihut rura.
= Air tidak akan letih menuruni
lembah. Artinya, orang tua tak akan pernah bosan mendidik anak-anaknya, dan
selalu berlapang dada.
- 64. Tigor do ransang hapit.
= Lurus kayu ransang terjepit .
Artinya, orang yang bebuat benar dan tulus bisa saja terjepit, sehingga ia
merasa serba salah.
- 65. Molo bolak mandar niba ndang jadi ribahan..
= Kain sarung sendiri lebar
janganlah dirobek. Ini mengingatkan agar jika anggota kelompok sudah meluas,
janganlah sengaja dibuat terpecah-pecah.
- 66. Ndang ditiptip halak ganjangna, ndang diarit
balgana.
= Tidak akan ada orang yang
mengurangi kebesaran dan kehormatannya dalam melaksanakan sesuatu acara.
- 67. Tiptip alai sai adong masiganjangi, dosdos alai sai
adong mansiboloni.
= Walaupun bersaudara tetapi
semuanya tidak akan sama jalan pikiran maupun harta kekayaannya
- 68. Hohom songon na mangallang sasagun.
= Diam-diam tetapi sedang asyik
menikmati sesuatu.
- 69. Marnadonok do manghosing na bineom.
= Hendaklah orang yang lebih dekat
hubungan kekerabatan lebih dulu menerima bagian hak adat ( jambar hata , jambar
juhut, jambar tortor)
- 70. Martampuk do bulung marbona sangkalan, marnata do
suhut marnampuna ugasan .
= Mengingatkan supaya keluarga
terdekat lebih berpratisipasi dan bertanggungjawab, jangan terus mengandalkan
kerabat yang mereka yang hubungan kekerabatannya jauh.
- 71. Sihampir gabe gambir, tandiang gabe toras. Tudia pe
ahu so tampil, tudia pe so bolas.
=Karena kemiskinannya seseorang
itu tidak masuk hitungan masyarakat di lingkunganya.
- 72. Ndang na taraithon tagonan ma pinonggolhon, ndang
na tartangishon, tagonan ma tinortorhon.
= Tidak ada gunanya menangisi susu
yang sudah tumpah, lebih baik dibawakan dalam gerak tari saja.Artinya, jangan
selalu bersedih.
- 73. Ndang boi sambariba tangan martopap.
= Tak mungkin hanya bertepuk tangan
sebelah.
- 74. Songon tuhil, ia pinasak masuk, ia tinait ro.
= Bagaikan pahat dipukul; masuk,
ditarik kembali. Maksudnya; janganlah bekerja kalau disuruh, ambil inisiatif.
- 75. Memet pe sihapor dijujung do uluna ( baringinna).
= Biar miskin dan tak berpendidikan,
harga diri tetap ada.
- 76. Hinarat jari-jari mangampir botohon.
= Jari tergigit, tangan ikut
merasakan. Artinya, seorang yang disakiti atau menderita, sanak famili ikut
measakan.
- 77. Arga jambar juhut argaan do jambar hata.
= Nilai kesempatan menggunakan hak
bicara dalam adat lebih mahal dari hak mendapatkan bagian daging.
- 78. Jolo diseat hata asa diseat raut.
= Lebih dulu diputus kata sebelum
diputus pisau. Artinya jangan terus membagikan jambar adat sebelum dimufakati
atau sebelum dibicarakan.
- 79. Maila raut so dapotan
= Malu pisau tidak melukai . Ini
dikatakan untuk melarang keras orang yang suka mempermainkan pisau, sebab bukan
tak mungkin akan melukai orang.
- 80. Marimbulu natinutungan
= Berbulu lagi yang sudah dibakar.
Artinya keputusan yang sudah disepakati dalam rapat menjadi batal tidak berarti
hanya karena salah seorang yang tidak hadir menolak hasil kesepakatan tersebut.
- 81. Ndang uasan halak di toru ni sampuran.
= Tidak akan kehausan orang di dekat
air terjun. Ini dikatakan kepada orang yang berada di tengah-tengah keluarga
makmur tidak akan kelaparan
- 82. Ulu balang na so mida musu.
= Mengaku jagoan dan pemberani
tetapi tak pernah berhadapan dengan musuh.
- 83. Mulak-ulak songon namangusa botohon.
= Berulang sulang atau bolak-balik
bagaikan membersihkan tangan. Artinya, tidaklah salah walaupun apa yang telah
diucapkan pembicara terdahulu diulangi lagi oleh pembicara belakangan.
- 84. Sidapot solup do na ro
= Pendatang sebaiknya mematuhi atau
tunduk pada kebiasaan adat yang berlaku setempat, Tidak boleh mengatakan, wah..
kalau yang berlaku di daeah kami… begini atau begitu.
- 85. Marsolup di hundulan.
= Posisi kekerabatan seseorang dalam
acara adapt tergantung aturan yang berlaku, bisa sebagai Hula-hula, sebagai
boru, atau derajat kekerabatan lainnya. Ini dikatakan seseorang yang hubungan kekerabatannya
berbagai segi.
- 86. Somalna do peamna
.
= Alah bisa karena biasa ; artinya ;
Segala kesukaran sebelumnya menjadi terasa mudah setelah jadi biasa. Begitu
juga jarak tempuh yang sebelumnya dirasakan jauh sekali, lama-kelamaan terasa
dekat.
- 87. Songon na mandege gara.
= Bagaikan menginjak bara api.
Ungkapan ini merupakan sindiran bagi tamu yang dating sebentar lalu pergi.
- 88. Galang do mula ni harajaon.
= Murah hati atau suka memberi
adalah perbuatan mereka yang ingin menjadi raja.
- 89. Tedak songon indahan di balanga.
= Terbuka atau transparan seperti
nasi dalam kuali. Artinya tidak ada yang perlu ditutup-tutupi
- 90. Manggagat hambing di ari udan.
= Kambing merumput di hari hujan.
Artinya; sesuatu kejadian si luar kebiasaan.
- 91. Na teal so hinallung na teleng so hinarpean .
= Yang berat sebelah tidak dipikul,
yang mirik tidak dialasi. Diucapkan mengeritik orang yagn angkuh tetapi
sesungguhnya tidak ada apa-apanya.
- 92. Unang lompa lali na habang.
= Jangan memasak elang yang sedang
terbang. Artinya, janganlah terus bergembira atas peruntungan yang belum di
tangan.
- 93. Ngongong songon datu ni aruan.
= Diam seribu bahasa
- 94. Marsitijur dompak langit, sai madabu do tu ampuan.
= Meludah ke langit dengan
sendirinya jatuh ke pangkuan. Artinya ; menjelekkan saudara sendiri sama
dengan menjelekkan diri sendiri.
- 95. Nang pe di bagasan sunuk manuk sabungan, sai tong
do martahuak.
= Kalaupun terkurung di dalam
keranjang, ayam sabung akan tetap berkokok. Artinya, si pemberani itu akan
selalu menunjukkan keberaniannya di mana pun ia berada.
- 96. Na tinaba ni tangke martumbur, na tinamba ni gana
ripur.
= Yang ditebang kampak akan
bertunas, tetapi yang ditebang sumpah mati tak akan berketurunan. Artinya,
janganlah sampai termakan sumpah sebab berat risikonya.
- 97. Naso matanggak di hata, naso matahut di bohi.
= Berani mengatakan yang benar itu
benar dan yang salah itu salah. *Tahut = takut
- 98. Songon tandiang na hapoluan
= Seseorang yang suka menyendiri,
tak punya teman
- 99. Paisolat gabe raja.
= Pendatang jadi pemimpin
- 100. Monang di surak-surak, talu di olop-olop.
= Keburu bersorak karena dikira
sudah menang padahal ternyata kalah.
- 101. Na olo mangalibashon ganjangna, mangompashon
bolonna.
= Seseorang yang mau menggunakan
kekuatan fisik, kekayaan atau jabatan untuk menekan seseorang.
102. Talu maralohon dongan, monang maralohon musuh.
= Tidak apalah kalaupun kalah/
mengalah terhadap teman asalkan menang melawan musuh.
- 102. Nai humalaput tata indahanna, nai humarojor mabola
hudonna.
= Seseorang yang selalu buru-buru
tak menentu akan mengakiatkan kerugian.
- 103. Marurat tu toru marbulung tu ginjang
= Berakar ke bawah berdaun ke
atas. Artinya; seseorang sudah lengkap mempunyai keturunan anak laki-laki
dan perempuan.
Lagu Batak
Orang Batak mempunyai lagu khas
mereka yang boleh dikatakan semua orang Batak bisa menyanyikan dan hafal luar
kepala walau hanya satu bait. Lagu ”O Tano Batak” sungguh terkenal dan
merupakan lagu mars suku bangsa yang satu ini. Suku bangsa lain tidak memiliki
lagu mars seperti yang dimiliki orang Batak. Sedangkan lagu-lagu lainnya yang
muncul belakangan seperti Arga do Bona ni Pinasa dan Rura Silindung, Palau
Samosir do… meskipun cukup terkenal tetapi tidak dapat menandingi lagu O Tano
Batak.
O TANO BATAK
O Tano Batak, haholonganhu
Au on masihol, naeng ro tu ho.
Ndang olo modom, ndang nok matanghu
Sai tong naeng mian di ho,
sambulonhi
O Tano Batak, andigan sahat
Dapothononhu, Tano hagodanganhi
O Tano Batak, sai naeng
hutatap
Au on naeng mian di ho, sambulonhi
Au on naeng mian di ho……… sambulonhi
ARGA DO BONA NI PINASA
Arga do bona ni pinasa, di angka na
bisuk marroha
Sai ido tona ni ompunta, tu hita
angka pinomparna
Dao pe ho nuaeng marhuta, lao mulak
do nang ho tongtong
Sai ingot mulak dung matua, sai
mulak, mulak tu huta.
RURA SILINDUNG
Rura silindung, rura na sun denggan
i
Lambok malilung, angka pangingani ni
i
Tung ro pe suhul, nang aek magodang
i
Bona pasogit, ndang na munsat sian i
AEK SIBULBULON
Di aek sibulbulon i, huta sionom
hudon i
Disi do parlao ni ompu i, Si
Singamangaraja i.
Dihaol ma boruna i, boru Lopian na
Uli.
Dungi tarmudar ompu i, subang na
sohalaosan i.
Raja na sian Bakkara, raja ni bangso
Batak i.
Raja na marsahala i, mulak tu
nampunasa i.
Poda dohot tonana i, ingkon ingot di
roha i.
Hita natinadinghonna, taihuthon
nanidokna i.
Kalender Batak
MATA ANGIN , BULAN , WAKTU
Kalender penanggalan orang Batak
disusun berdasarkan perputaran ” mahluk bersinar” yang disebut PANE NABOLON
yang mempunyai kepala dan ekor. Ia berputar munurut arah jarum jam.Terkadang
mahluk tersebut memancarkan sinar, terkadang redup dan terkadang gelap. Mahluk
besinar itu adakalanya diartikan sebagai Naga raksasa yang memiliki pengaruh
terhadap kondisi alam semesta, bahkan bisa mempengaruhi gagal atau suksesnya
rencana berperang, rencana mengolah lahan pertanian ataupun rencana mengadakan
pesta adat. Jadi, ada hubungan antara mata angin dengan bulan.
Mahluk itu senantiasa beredar
mengelilingi delapan penjuru mata angin ( desa naualu). Sebagai contoh
penggunaan kalender Pane Bolon agar berkhasiat, sbb: Pada bulan Sipaha sada,
dua, dan tolu, maka posisi kepala Sang Pane Bolon berada di di Purba atau
Timur. Jadi, kalau sedang berperang melawan tentara penjajah Belanda misalnya
dan ingin menang dalam kurun waktu tersebut, maka sebaiknya ketika menembaki
musuh, haruslah membelakangi arah Anggoni dan Nariti
Sampai sekarang, masih ada
segelintir orang Batak, khususnya di pedalaman yang meyakini bahwa
penanggalan berdasarkan perhitungan Pane Nabolon mempunyai khasiat,
sehingga mereka lebih dulu menghitung-hitung hari sesuai petunjuk Pane nabolon
guna mendapatkan bulan berapa dan kapan waktu yang paling cocok untuk
melaksanakan suatu rencana besar atau hajatan besar. Bahkan di sejumlah Lapo
Tuak di Jabodetabek misalnya, kalender penanggalan tersebut terlihat
dipajang sebagai hiasan sekaligus boleh dipesan kalau berminat.
MATA ANGIN ;
Mata angin orang Batak sama dengan
mata angin internasional yakni 8 (delapan penjuru). Dalam bahasa Batak, delapan
penjuru itu disebut ” desa naualu”. Di daerah Tapanuli, kepada murid SD masih
sempat diajarkan tentang mata angin, kalender penanggalan beserta pengetahuan
kebatakan lainnya termasuk aksara dan kekerabatan menurut falsafah Dalihan Na
Tolu.
Adapun ke-delapan mata angin
tersebut adalah sbb;
- Purba
= Timur
- Anggoni
=
Tenggara
- Dangsina =
Selatan
- Nariti
=
Baratdaya
- Pastima
=
Barat
- Manabia
=
Barat Laut
- Utara
=
Utara
- Irisanna
= Timurlaut
BULAN
- Januari
= Sipaha sampulu
- Pebruari
= Li
- Maret
= Hurung
- April
= Sipaha sada
- Mei
= Sipaha dua
- Juni
= Sipaha tolu
- Juli
= Sipaha opat
- Agustus
= Sipaha lima
- September
= Sipaha onom
10.
Oktober
= Sipaha pitu
11.
November
= Sipaha ualu
12.
Desember
= Sipaha sia
WAKTU :
1. Pkl
6.oo
= Binsar mata ni ari ( Terbit
matahari)
2. Pkl.
7.00
= Pangului
3. Pkl.
8.00
= Tarbakta
4. Pkl.
9.00
= Tarbakta raja
5. Ppkl.
10.00
= Sagang
6. Pkl.
11.00
= Humara hos
7. Pkl.
12.00
= Hos ( Hos ari/ Hos ni
ari)
8. Pkl.
13.00
= Guling ( Guling ari)
9. Pkl.
14.00
= Guling dao
10. Pkl.
15.00
= Tolu gala
11. Pkl.
16.00
= Dua gala
12. Pkl.
17.00
= Sagala
13. Pkl.
18.00
= Mate mata ni ari ( matahari
terbenam)
14. Pkl.
19.00
= Samon
15. Pkl. 20.00
= Hatiha mangan
16. Pkl.
21.00
= Tungkap hudon
17. Pkl.
22.00
= Sampinodom
18. Pkl.
23.00
= Sampinodom nabagas
19. Pkl.
24.00
= Tonga borngin.
20. Pkl.
01.00
= Haroro ni
panangko (waktunya datang pencuri)
21. Pkl.
02.00
= Tahuak manuk parjolo (ayam
berkokok pertama)
22. Pkl.
03.00
= Tahuak manuk paduahon (ayam
berkokok kedua)
23. Pkl.
04.00
= Buha-buha ijuk
24. Pkl.
05.00
= Torang ari (terang
hari)
* Pkl. 06.00
pagi= Binsar mata
ni air , dst….
Ulos Batak
Ulos Batak merupakan kain tenunan
tradisional yang sudah berabad-abad lamanya. Ulos dalam arti singkatnya adalah
selimut.Namun lebih dari sekesar selimut bila dikaitkan penggunaannya dalam
adat-istiadat. Bagi Orang Batak Ulos merupakan unsur ketiga sumber kehangatan
setelah Matahari, dan api.
Seumur hidup setiap orang Batak,
paling tidak akan menerima 3 macam ulos, yaitu ketika lahir, menikah dan
meninggal.
Religi Batak
Religi atau keyakinan/
kepercayaan orang Batak dahulu kala sama dengan suku-suku bangsa lainnya
yaitu animisme . Dikatakan animisme jika kita memandangnya dari sudut pandang
sekarang Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan Pancasila.
Tetapi Religi kuno Batak boleh
dikatakan sebagai persiapan untuk menyongsong religi baru, sebab nenek moyang
orang Batak telah mengakui adanya Pancipta alam semesta ” MULAJADI NABOLON”.
Secara harafiah, Mulajadi Nabolon
artinya Mahabesar sejak awal atau Awal dari segala sesuatu. Ini hampir sama
dengan ALFA, namun belum mencerminkan adanya BETA atau akhir segala sesuatu.
Istilah atau sebutan nama tersebut
kemudian beangsur-angsur tidak digunakan lagi karena kurang tepat dengan isi
Alkitab ( Yesaya 42:8) yang telah memperkenalkan sebutan JHWH. Nama
tersebut diucapkan menurut lidah orang Batak sebagai ” Jahoba” sedangkan lidah
bangsa lain seperti Perancis, Inggris, dan Jerman, tentu saja agak berbeda
(Zjechovah , Jihovah, dan Jechovah.).
Berkaitan dengan religi, dibawah ini
akan dipaparkan tentang spiritualitas Batak dari berbagai sumber.
Para tokoh orang Batak
I. Tokoh Bidang Budaya
- Gustafa Gultom yang memimpin SERINDO, Seni Ragam
Indonesia. Wadah ini melakukan misi membina, menggali, melestarikan dan
mengembangkan unsur-unsur kesenian asli daeah Tapanuli seperti tari, musik
dan cerita rakyat yang disampaikan dalam bentuk opera ( laokn di atas
panggung yang diselingi dengan tari dan musik.
- Nahum Situmorang
- Sitor Situmorang
- Nortir Simanungkalit
- Dll – bersambung
- II. Tokoh Bisnis
- Radja Darianus Lungguk Sitorus ( Torganda Group.
Pendiri Partai Peduli Rakyat Nasional- PPRN.
- Jonny Pardede
III. Tokoh Politik
- Sabam Sirait.
- Trimedya Panjaitan
- IV. Pakar Hukum
- V. Tokoh/Pakar Pendidikan
- Buyung Nasution, SH
- Felix Tampubolon, SH
- Prof. DR. Laurence Manullang ( Institut Bisnis Ekonomi
Keuangan-IBEK)
- Prof. DR. Hotman Siahaan
VI. Tokoh/ Pakar Pers.
- Sabam Siagian ( The Jakarta Post)
- GM.Panggabean ( Sinar Indonesia Baru)
- Drs. Leo Batubara ( Dewan Pers )
BERBAGAI PENILAIAN TERHADAP ORANG
BATAK
1.
Orang Batak menurut Paranormal Permadi, SH.
( Majalah Bona ni Pinasa, Maret 1995
)
Memang di situlah anehnya. Orang
Batak itu kasar dan brutal, tetapi hatinya halus. Makanya
lagu-lagu Batak itu ”nangis manganung”. Semua merintih. Jadi orang Batak itu
sebenarnya cengeng, fisiknya saja yang kuat. Itulah yang mendekatkan saya
dengan Batak. Kita punya persamaan.
Bagaimanapun, penilaian Permadi
diwarnai nuansa negatif dan positif. Kesan positif itu antara lain sifat bekerja
keras, habis-habisan siang malam. Tetapi sisi lain, orang Batak juga
menunjukkan sifat tak sabaran, cenderung menempuh jalan pintas dan
malas, apalagi kalau dalam keadaan menganggur.
Kelihatannya, orang Batak itu sulit
menciptakan pekerjaan. Dia harus diberi pekerjaan. Dan sesudah
pekerjaan diperoleh, dia akan benar-benar bekerja keras, banting tulang. Tetapi
kalau tak ada pekerjaan, mereka malas-malasan, akhirnya main judi, minum-minum
di warung atau lapo tuak. Jadi, orang Batak suka pekerjaan- pekerjaan
keras yang dipercayakan kepadanya, makanya, seperti di Jakarta ini,
banyak yang menjadi kuli atau kondektur.
Sifat positif kedua ialah sifat gotong
royong. Tetapi bila kadar sifat ini telalu tinggi, akhirnya bisa
berakibat negatif. Misalnya, begitu ada seorang Batak menjadi pejabat, maka
bagaikan semut, semua kerabatnya akan mengerubunginya. Kadang muncullah sifat
kurang terpuji. Bila si pejabat tidak memberi sesuai dengan harapan, lalu
diomongin dan dibilang sombong.
Kejujuran, keterbukaan, dan sikap
terus terang, termasuk dalam mengkritik orang lain, juga dinilai Permadi sebagai sifat yang positif. Tetapi
sifat yang sangat positif ini telah tenggelam menjadi tidak positif karena
dominasi Jawa yang marah kalau dikritik terus terang. Keadaan bukannya balance,
tapi orang Batak justru banyak yang ketularan orang Jawa. Sifat ketularan ini
dengan jelas terlihat pada seorang Batak yang menjadi pejabat- dan banyak
pejabat orang Batak yang beristrikan orang Jawa.
Si Batak yang menjadi pejabat ini
akan ikut-ikutan budaya Jawa. Kalau ketemu pejabat, dia akan
megang burungnya, ngomong dengan menunduk, tidak mau lagi melihat wajah
lawan bicara.
Mantan menteri Kehutanan Hasjrul
Haahap pernah pernah mengkritik saya. Katanya; kau ini aneh, kau yang jadi
Batak, saya jadi Jawa. Tetapi setelah ia tidak menteri lagi, ia kembali menajdi
Batak, ha ha ha…
Sementara itu, sifat sombong,
gengsi dan harga diri orang Batak yang tinggi itu dinilai relatif
oleh Permadi. Tergantung pada kemampuan seseorang menempatkan
posisinya. Bisa positif bisa negatif. Sebab, harga diri yang tinggi itu
sebenarnya positif. Untuk bisa melakukan tawar-menawar ( bargaining position)
diperlukan harga diri yang tinggi atau kesombongan yang benar. Tetapi
celakanya, justru terjadi di sini, orang Batak sering meremehkan ( prestasi
atau kemampuan) orang lain. Padahal kalau diberi kesempatan, belum tentu bisa
dia mencapai prestasi seperti itu.
Gaya hidup seperti raja ( walaupun miskin), suka memerintah orang, ngutang demi
gengsi dan berpikir pendek juga merupakan ekses negatif dari harga diri
yang tinggi itu. Saya tahu banyak orang Batak yang mengutang demi
gengsi. Tak peduli, yang penting bisa hidup seperti raja karena memang semua
lelaki Batak suatu saat akan menjadi raja. Jadi, dalam hal ini ada
kesalahan dalam mengappresiasi nilai-nilai budaya.
Permadi menegaskan, dalam
pembangunan kebudayaan nasional yang besifat Bhinneka Tungal Ika, budaya
Batak adalah aset nasional. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya Batak
yang unggul harus diinventarisasi dan dikembangkan.
Kita tahu, di bidang seni,
Batak itu unggul. Di bidang sumber daya alam, wilayah Tanah Batak juga
sangat kaya. Tidak ada tanah sesubur itu, terutama dalam bidang perkebunan,
seperti kopi, teh, karet. Tetapi yng memprihatinkan, rakyatnya miskin, itu
karena mereka kurang kreatif. Kalau di Jawa, tanah koong seperti itu pasti
sudah jadi sawah atau perkebunan.
Permadi menyarankan agar potensi
kekayaan alam dan budaya dikembangkan dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Rakyat harus diberi kesempatan untuk mengolah tanahnya sendiri, jangan justru
diserahkan kepada orang luar.
2. Penilaian
lainnya
Hasil pengamatan Eliakim Tambunan :
Budaya Parhobas sedang luntur :
Lunturnya budaya memberikan pelayanan ” parhobas” ini sudah terasa
merambat ke kalangan aparat pemerintah daerah. Misalnya jika bicara tentang
mempersiapkan data keperluan proposal proyek, aparat bersangkutan tidak lekas
tergerak kalau merasa pelaksanaan proyek itu nantinya jatuh ke tangan orang
lain, atau bukan kelompoknya yang mengerjakannya. Ini bekaitan dengan sifat
”elat” atau tidak suka kalau orang lain mendapat rezeki.
DR. Meyer Siahaan :
Pola Hidup Konsumtif sudah masuk
desa :
Gejalanya: Generasi muda di Bonapasogit makin banyak nongkrong
di lapo tuak berlama-lama, dan uang yang dibelanjakan lebih banyak dari
pendapatannya. Kemudian, untuk menempuh jarak hanya 3-5 km tidak mau lagi
berjalan kaki, langsung naik angkot. Orang yang diajak bekerjasama ( bermitra)
langsung menuntut ada sepeda motor
Prof. DR. Midian Sirait :
Mempertanyakan, apakah sesungguhnya
masih ada kebudayaan Batak itu?
Memperhatikan kalau hari Minggu,
anak-anak muda bukannya pergi beribadah ke Gereja, tetapi lebih senang pergi
nonton. Pada hari-hari biasa, belum waktunya pulang sekolah, tetapi sudah
nongkrong di jembatan. Kepala kampung lulusan SMA, tetapi kerjanya hanya main
catur di lapo Tuak. Raja-raja adat tidak berprilaku seperti raja, kecuali di
waktu pesta perkawinan, Dia tidak panutan lagi, sudah kehilangan wibawa. Begitu
juga para pengurus Gereja, kenapa terus berkelahi ? Jadi sepertinya tidak ada
lagi yang pedulu tentang nilai-nilai budaya Batak.
Drs. Jhonson Pardosi ( Staf Pengajar Program Studi Sastra Batak- USU):
Di kota-kota besar, sudah jarang
generasi muda Batak Toba yang dapat berbahasa Batak. Mereka tidak mengerti
kalau tonggo-tonggo itu adalah bentuk doa dan andung itu bukan
ratapan semata. Mereka hanya tahu kalau tonggo-tonggo itu hanya
merupakan doa untuk roh-roh jahat dan untuk roh nenek moyang.
Padahal kalau disaksikan di
lapangan, misalnya dalam hal penggunaan tonggo-tonggo dalam acara keagamaan (
Parmalim, Parbaringin dan Si Raja Batak) tidak sama dengan tonggo-tonggo yang
dipakai dalam acara horja atau pesta besar. Begitu juga dengan andung, bukan
hanya ratapan karena kematian, kepedihan hati, penyesalan dan kebahagiaan.
Tetapi masih ada yang disebut andung paragat, andung parmahan, andung
parhaminjon ( andung penyadap nira, gembala kerbau, dan penyadap kemenyaan)
yang semuanya itu bagian dari budaya.
Bah! Lebih parah lagi, banyak para
tua-tua adat yang tidak tahu membedakan antara Umpama dengan Umpasa.
Berkaitan dengan Religi
BERBAGAI PENDAPAT TENTANG
SPIRITUALITAS ORANG BATAK
DR. Jan Aritonang:
Orang Batak memiliki spiritualitas
yang tidak terpecah-pecah. Kehidupan ini dipahami secara utuh, tidak ada
pemisahan yang ketat antara yang jasmani dengan yang rohani, antara masa kini
dengan masa depan, dan yang antara yang sakral dengan profan. Surga dan dunia
tidak terpisah.
Tondi atau roh menurut kepercayaan
Batak tradisional juga mempunyai urusan terhadap dunia ini. Malah tondi bisa
mengatur kehidupan manusia, bahkan mereka bisa makan sebagaimana layaknya
manusia biasa. Itulah sebabnya kenapa orang Batak memberi sesajen kepada Tondi
atau roh nenek moyangnya, misalnya tuak, saksang atau rokok. Roh orang mati
diyakini tetap berada di dunia ini dan ikut mencampuri kehidupan, baik sebagai
pemberi berkat atau mengutuki manusia.
Konsep kepercayaan seperti ini
bersumber dari kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Na Bolon (Allah Sang
Pencipta Yang Maha Besar) yang tidak merupakan kekuatan tunggal. Ia (Allah)
juga memanifestasikan diri melalui kekuatan-kekuatan, seperti dewa atau roh-roh
lainnya. Orang Batak yakin bahwa Allah ikut campur dalam segala bidang kehidupan.
Jadi, walau orang Batak menyembah
berhala atau kekuatan-kekuatan duniawi, muaranya tetap satu: pemujaan
terhadap Allah.
Spiritualitas demikian dimiliki
orang Batak sebelum Kristen masuk ke Tanah Batak. Setelah Kristen masuk,
spiritualitas ini menjadi persoalan, sebab kekristenan dengan tegas membedakan
hal-hal yang materil dari immaterial, antara pemujaan terhadap Allah dan
pemujaan terhadap roh atau sumangot. Kekristenan hendak mengambil
alih dan membuang segala spiritualitas tradisional sehingga terjadilah
diskrepansi atau keterpecahan identitas manusia Batak hingga sekarang.
Jadi tidak benar bahwa sebelum
Kristen masuk ke Tanah Batak, orang Batak adalah sipelebegu atau pelbegu.
Uskup Mgr. A.B.Sinaga :
Nilai yang paling menonjol dari
masyarakat Batak adalah kehidupan spiritualitasnya yang tinggi. Orang Batak
sangat dekat hubungannya dengan Debata Mulajadi Na Bolon. Orang Batak
beranggapan bahwa mereka adalah keturunan langsung Dewata. Itu berarti seorang
Batak boleh bicara kepada Dewata seakrab seorang anak kepada ayahnya, bahkan
boleh meminta seolah-olah itu haknya. Begitu sederhana, lapang dada, jujur
hidup ini menurut perasaan mereka, sehinga Sisingamangaraja misalnya
mengajarkan keyakinan bahwa politik yang terbaik adalah hatigoran (
ketulusan).
Sesuai dengan ciri khas ( penanut)
agama primitif, orang Batak menganut dua kepercayaan yang saling bertentangan,
yakni : white magic ( hamalimon) yang berorientasi kepada Allah dan Black magic
( hadatuon) yang memuja kekuatan duniawi. Jadi dalam pribadi orang Batak, kedua
kepercayaan yang saling bertentangan itu harus bersatu, barulah seseorang
benar-benar diakui sebagai manusia Batak yang utuh.
Dia harus ditakuti sebagai dukun
sekaligus sebagai malim yang bisa bedoa kepada Allah. Dia harus bisa sebagai perantara
manuia kepada Allah. Dengan ilmu hadatuonnya iapun harus bisa menggoyang gunung
atau menerbangkan losung. Jadi, spiritualitas Batak sebenarnya bersifat
kontradiktif karena menyatukan hadatuon dan haporseaon. Inilah yang disebut
spiritualitas ke-Allah-an yang bersifat roh.
Selain itu, orang Batak juga percaya
terhadap tondi (roh) leluhur yang disebut Sumangot ni ompu. Ada tiga tingkatan
roh orang meninggal: begu, sumangot dan sombaon.
Semua orang yang meninggal jadi
begu, tetapi tidak semuanya bisa menjadi sumangot dan sombaon. Di sinilah
puncak hasipelebeguon manusia Batak. Keselamatan dicapai dengan
menyembah Allah dan menyembah sombaon, dengan keyakinan bahwa dua-duanya
sama-sama memberikan pasu-pasu (berkat). Itu berarti bahwa orang Batak percaya
terhadap Debata Mulajadi Na Bolon sebagai Sang Pencipta. Disebutlah itu Ompu
Raja Mula-Mula, Ompu Raja Mulana, na ro sian na so marmula, so binoto ujungna,
na ra matua na so ra marsahit, Ibana do nampuna sude saluhutna.
Tujuan hidup manusia Batak zaman dulu
ialah:
- mardebata ( ber Allah)
-maranak marboru ( berketurunan atas
bekat Allah- tetapi kalau Allah menghendaki tidak mempunyai keturunan, itu
tidak sampai mengurangi martabatnya.
- penghidupan yang baik atau
kesejahteraan hidup.
Berkaitan dengan cita-cita dan
tujuan hidup untuk berketurunan dan memperoleh kesejahteraan hidup di atas,
pada dasarnya Orang Batak bukanlah manusia yang materialistis walau mereka
selalu mengharapkan sai sinur ma pinahan gabe na niula ( semoga ternak
peliharaan dan pekerjaan memberikan hasil yang memuaskan).
Konsep hamoraon, hasangapon dan
hagabeon ( 3H) yang dikenal sekarang bukanlah konsep asli Batak. Konsep
tersebut masuk sejalan dengan sekularisme yang kemudian berkembang. Yang
dihormati manusia Batak bukanlah kekayaan atau jumlah keturunan, tetapi
hamalimon dan hadatuon manusianya. Di situlah letak penghargaan terhadap
spiritualitas manusia Batak. Biar miskin di hajolmaon (tidak berketurunan)
kalau dia memiliki kekayaan dalam urusan partondion atau mardebata, dia tetap dihormati.
Upaya memperoleh kekayaan dan keturunan tetap berdasarkan nilai-nilai
haporseaon terhadap Mulajadi na Bolon.
Tentang cita-cita berketurunan,
orang Batak mengharapkan sai tubu ma anak na tangkang, na juara jala na
targoar… dohot si boru naulian….’ na gabe datu pangulpuk, datu parhoa-hoa (
kiranya lahir anak yang gagah perkasa dan terkenal ) serta anak perempuan
yang cantik serta jadi dukun besar sekaligus mampu berdoa kepada Allah.
Angka 3 ( tiga) juga merupakan
bagian dari spiritualits Batak. Mereka pecaya terhadap Allah tiga dimensi, yang
hadir dalam kedirian yang disebut Debata Na Tolu : Batara Guru, Batara
Soripada, dan Batara Mangala Bulan. Bumi orang Batak terdiri dari tiga
tingkat, yakni Banua Ginjang ( dunia tas), Banua Tonga (dunia tengah atau
bumi), dan Banua Toru ( dunia bawah).
Masyarakat Batak juga dibangun dalam
struktur Dalihan Na Tolu ( Tungku Nan Tiga): dalam ilmu hadatuon (
perdukunan) ada benang manalu atau manolu yang terdiri dari warna hitam, merah
dan putih; sampai persembahan pada upacara bius pun dikenal tiga jenis kuda,
yakni : kuda silintom ( persembahan untuk Bara Guru), nabara ( persembahan
untuk Batara Soripada), dan Sihapas pili (persembahan untuk Mangala Bulan).
DR. Parakitri Tahi Simbolon:
Ada empat rumusan terkenal mengenai
keyakinan tersebut yang juga merupakan bagian dari spiritualitas Batak, yakni :
-
parhatiha sibola timang ( pemilik dacin/timbangan yang sangat seimbing)
-
parninggala sibola tali ( pembajak yang mampu membelah tali)
-
parmahan so marbatahi ( penggembala tanpa cambuk)
-
pamuro so marumbalang ( penjaga padi tanpa bandring)
Ini menggambarkan keseimbangan dan
harmonisasi dalam kehidupan orang Batak. Dalam praktek, rumusan-rumusan
tersebut menjelma dalam kepemimpinan Sisingamangaraja. Wibawa kekuasaannya
dilaksanakan tanpa tentara, tanpa pangreh praja, bahkan tanpa memungut pajak. Yang
diandalkan hanya kuasa moral dan spiritualitasnya.
Ketiga narasumber di atas, DR. Jan
Aritonang, Mgr. Uskup Sinaga maupun Parakitri sama-sama melihat adanya nilai
dalam spiritualitas sebagian orang Batak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
keagamaan yang dianut masyarakat Batak sekarang. Di sinilah agama seyogyanya
bisa lebih arif lagi untuk menyeleksi dan secara pelan-pelan mengisi
nilai-nilai tersebut dengan nilai spiritualitas agama, sehingga masyarakat
Batak tidak mengalami diskrepansi atau keterpecahan kepribadian karena kedua
kakinya berada di dunia yang berbeda.
Pdt. DR.A.A.Sitompul ( Mantan Ketua STT HKBP Pematang Siantar)
Masyarakat Batak sudah mendesak
untuk kembali memiliki spiritualitas atau Partondion na mangolu yang harus
direfleksikan dalam dalam kehidupan sehari-hari. Tidak cukup hanya
kesalehan-kesalehan, tetapi kesalahen masih harus diisi dengan pendalaman iman
dan perubahan sikap.Ketiga hal tersebut harus saling mengisi dan melalui itulah
kita akan mengerti bagaimana kehendak Allah. Jika tidak, kita akan kehilangan
pedoman.
Harap dicatat, dalam hidup kita
tidak akan mungkin mundur. Jika ingin maju kita harus memiliki pedoman.
Masyarakat Kristen/Batak harus
berprilaku sebagai nabi yang mengingatkan, sebagai imam yang sanggup
mendamaikan, dan sebagai hamba yang mampu sebagai pekerja dan pelayan. Justru prilaku seperti inilah yang jarang ditemui
sekarang.
Walaupun kita sering menjumpai
orang-orang pintar dan intelektual, tidak banyak dari mereka yang bijak dan namarroha.
Tidak pernah lagi kita terapkan dalam hidup sehari-hari ” talu maralohon
dongan monang maralohon musu ” atau ” Gala-gala sitelluk, telluk
mardagul-dagul, molo adong hasalaan nami, naget ma hamu mangapul-apul”.
Padahal bagi generasi penerus sekarang ini tidak cukup hanya kata-kata untuk
mendidik mereka. Mereka menuntut suatu bukti dan sikap yang dapat diteladani.
Sebagai anak Tuhan, ada tiga hal
yang patut kita perhatikan dalam kehidpan kita sehari-hari. Pertama, meditasi.
Kita harus meditasi dengan tekun, berdoa agar kita dapat mendekatkan diri
kepada Tuhan. Meditasi dapat kita jadikan sebagai parabola untuk berkomunikasi
dengan Tuhan. Kedua; Liturgi.
Karena tuntutan hidup, kita semakin
sibuk. maka kita perlu meningkatkan intensitas kebaktian-kebaktian, baik itu
kebaktian di Gereja, keluarga dan lingkungan agar kemajuan pola pikir dan IPTEK
yang sangat luar biasa sekarang ini dapat dipertanggungjawabkan oleh gereja dan
masyarakat Bhatak. Ketiga adalah emansipatoris.
Kedua hal di atas haruslah kita
tujukan untuk kepentingan lingkunan dan osial. Sebab musuh yang paling besar
pada msa mendatang adalah kejahtan yang justru berasal masyarakat. Munculnya
kejahatan tidak hanya dari sipelaku, tetapi juga akibat dari lingkungan
masyarakat. Contohnya, apakah korupsi dapat dikategorikan kepada ” tangko
raja”.
Gereja sudah berusaha agar
kebudayaan itu bernilai positif dan dapat dipakai untuk memuji Tuhan. Yang
menjadi keterlambatan sekaligus menjadi kekurangan Gereja HKBP adalah minimnya
unsur budaya tersebut yang masuk dalam liturgi Gereja. Seperti minumnya
pemakaian Umpasa/Umpama, tortor, gorga dan lain-lain. Padahal, dalam mazmur 150
jelas dikatakan bahwa tarian dapat memuji Tuhan.
Dalam hal ini bukan hanya salah
Geeja, juga masyarakat terutama budayawan dan tokoh-tokoh adat yang pada
prinsipnya lebih berkepentingan dalam hal pewarisan budaya.
Seharusnya para budayawan dan tokoh
adat dapat menyeleksi materi-materi budaya tersebut yang dapat dipakai dalam
Gereja untuk memuliakan Tuhan. Dalam hal ini jangan kita memutlakkan sesuatu
atau mengabsolutkan yang lain. Dan harap dicatat, yang dapat diwariskan
hanyalah budayanya sedangkan nilai dan maknanya harus melalui penghayatan dan
keteladanan yang memakaianya.
Untuk itu, perlu kesepakatan dari
semua pihak. Dulu waktu membangun Gereja Dame Siantar dengan gaya arsitektur
Batak Toba, sangat susah membuat kesepakatan apakah gorga dapat dibuat atau
tidak. Jadi,apakah pengembangan budaya itu tugas Gereja atau tokoh budaya ?
Dalam Gereja sudah saatnya diadakan
suatu forum diskusi agar iman masyarakat semakin tumbuh. Gereja itu harus kita
fungsikan jadi partungkoan. Bila perlu, Gereja harus mempunyai teras
sebagai tempat diskusi dengan membentangkan tikar. Sebab kotbah Pendeta di
Gereja belum cukup jadi makanan rohani jemaat dalam hidupnya. Oleh sebab itu,
pendeta harus menjumpai jemaat ke rumahnya masing-msing. Bahkan ke tempat kerjanya.
Jadi, tradisi yang sekarang ini, di
mana jemaat yang menjumpai pendeta haruslah kita rubah. Syukurlah karena sampai
sekarang ini masih ada kedai tuak yang dapat dijadikan masyarakat sebagai
partungkoan, walaupun pada hakikatnya diskusi di kedai tuak itu kadang-kadang
bernilai ekstrim dan cenderung kepada pembicaraan yang tak kunjung usai.
Kita perlu beranjak dari sudut
budaya, agar melalui Gereja spiritualitas agama dan budaya dapat tumbuh
sekaligus. Karena itu tokoh budaya dan komponis Batak perlu dihimpun
untuk menggubah nyanyian rakyat, Umpama/Umpasa, torsa-torsa, filsafat dan
budaya lainnya dapat dimasukkan ke dalam nyanyian Gereja. Masa lagu Gereja HKBP
tidak ada yang baru, seluruhnya lagu-lagu lama.
Tentang pewarisan budaya sekarang
ini, menurut penilaian DR. Sitompul sebagai sangat memprihatinkan akibat
minimnya buku pedoman yang dapat dijadikan sebagai acuan.
Persatuan/ punguan marga perlu
mengadakan diskusi budaya selesai mengadakan pertemuan atau partangiangan
dengan melibatkan generasi muda. Sebab, akibat dari kekosongan pendalaman nilai
dan makna budaya, pemuda yang merantau hanya dilepas begitu saja tanpa
pembekalan nilai budaya dan agama yang seharusnya dipakai sebagai pedoman di
daerah rantau. Akibatnya, para perantau harus belajar kembali tentang mana yang
baik dan yang tidak.Hal ini bisa mengakibatkan identitas mereka menjadi luntur.
Apa Sebenarnya Spiritualits itu ?
Untuk menjelaskan hal ini ada
baiknya kita batasi pada pengertian spiritualitas orang awam. Sebab bila
kita membahas spiritualitas para biarawan misalnya, maka terlalu luas
cakupannya.
Spiritualitas pada umumnya
dimaksudkan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allahnya dan aneka
perwujudannya dalam sikap dan perbuatan.. Bagi orang Kristen atau pengikut
Kristus, spiritualitas dapat dirumuskan sebagai hidup berdasarkan kekuatan
Roh Kudus dengan secara metodis mengembangkan iman, harapan, dan cintakasih.
Atau dapat juga dikatakan; sebagai
usaha mengintegrasikan segala segi kehidupan kedalam cara hidup yang secara
sadar betumpu pada iman akan Yesus Kristus atau sebagai pengalaman iman
Kristiani dalam situasi konkret masing-masing orang. Spiritualitas tidak sama
dengan ” devosi” yang bercorak lebih subyektif, bukan juga dengan rasa keagamaan
yang menandakan kemampuan transendental manuisia.
Jadi, spiritualitas adalah kehidupan
rohani yang menyanggupkan orang menghayati dan mengamalkan imannya baik sebagai
anggota penuh Gereja maupun sebagai warga masyarakat umum. Ada orang yang
menyangka bahwa spiritualitas atau kehidupan rohani mengasingkan orang dari
dunia ini. Dirasakan suatu pertentangan fundamental antara yang duniawi dan
yang sorgawi.
Memang menurut Injil ” dunia” dapat
berarti :
- 1. dunia ciptaan Allah
- 2. dunia yang akan datang
- 3. dunia yang dikuasai dosa dan setan.
Kristus dan murid-muridNya bukan
dari dunia ini, tetapi di dalam dunia ini. Dunia yang menentang Allah, ditebus
oleh Kristus dan merupakan medan tugas orang Kristen untuk mengembalikannya
kepada keadaan yang diinginkan Sang Penciptanya. Dengan bantuan rahmat, dalam
dunia yang sudah ditebus ini orang beriman mengamalkan hukum ilahi supaya dunia
ini semakin berubah menuju dunia yang akan datang.
Gereja tidak lepas dari apa yang
berlangsung di masyarakat umum. Tiada suatu apapun yang manusiawi yang tidak
berkumandang dalam hati orang beriman. Oleh karena itu, orang beriman mengakui
yang baik di dunia ciptaan itu seperti berhasil dalam berkarya, bergembira
dalam hidup bersama terutama dalam hidup berkeluarga, mengagumi alam yang indah
dan kebudayaan manusiawi, membangun kehidupan masyarakat yang makmur dan
adil. Semua itu ikut membentuk caranya menghayati kehidupan Kristiani sebagai
penghuni dunia ini.
Namun di antara segala yang
benar-benar benilai di dunia, tidak ada yang mutlak bagi orang yang beriman. Ia
tidak mendewakan harkat, pangkat, harta, nikmat atau hormat. Ia mengakui
semuanya dengan mengindahkan otonomi dunia ini serta hukum-hukumnya. Tetapi
orang beriman mengenal juga batas serta kefanaannya.
Bagi orang Kristen, Sang Pencipta
tampak di balik semuanya di dunia ini, tetapi bukan sebagai unsur dunia ini. Sang
Pencipta menyapa dan memanggil manusia dalam lubuk hatinya, dan melalui sesama
manusia dan peristiwa-peristiwa hidupnya. Tuhan melampaui segalanya
(transenden) namun tidak jauh dari apa pun juga yang dialami orang selama di
dunia ini. Semuanya dapat menjadi tanda dan sarana kehadiran dan kegiatan
ilahi, tanda bahwa makna terdalam kenyataan-kenyataan duniawi melampaui
batas dunia ini.
Bagi orang Kristen, dunia menjadi transparan
pada Sang Penciptanya. Oleh karena itu, kejadian dan benda duniawi dapat
menjadi tanda kenyataan ilahi: Air, roti, dan anggur, hidup perkawinan dan
pengurapan menjadi tanda dan sarana yang digunakan Allah untuk menyatakan,
bahwa Ia mendekati dan menyayangi manusia.
Gereja diutus untuk mempersaksikan
pengutusan Kristus di dunia ini. Inilah pengutusan fundamental selutuh
umat Allah dan setiap anggota pengutusan, pengudusan atau pembebasan.
Spiritualitas kaum awam dapat
bercorak misionaris, sakramental, mesianis, ignasian, fransiskan, kenabian,
menggarami, dialogis , dan lain-lain. Semua bentuk ini mendapat tempat dalam
umat.
Namun demikian, segala ragam
spiritualitas mengandalkan bahwa hidup rohani orang beriman berakar dalam
misteri Paskah, yakni wafat dan Kebangkitan Kristus, dan dengan demikian
pula dalam umat yang dilahirkan oleh misteri Paskah itu. Spiritualitas dasar
ini berlaku bagi rohaniwan maupun awam, bagi Sri Paus maupun kanak-kanak yang
baru dibaptis. Inilah hidup rahmat, yakni mengambil bagian dalam hidup ilahi
yang diperoleh Kristus bagi saudara-saudariNya. Hidup ini berkembang dalam
perayaan tahunan liturgis tentang misteri Kristus, tentang BundaNya dan para
orang kudusNya. Santapan Ekaristi dan rahmat Sakramen-sakramen lain
menopang hidup rohani, yang diperdalam oleh doa pribadi maupun doa-doa bersama.
”
Hidup berkeluarga maupun aneka kepentingan duniawi lainnya tidak asing bagi
spiritualitas kaum awam. Kata Rasul Paulus : Apapun yang kamu lakukan,
katakan atau perbuat, laksanakan itu ats nama Tuhan Yesus Kristus, seraya
mengucap syukur kepada Allah Bapa dengan pengantaraan kristus ( Kol 3:17)
Spiritualitas awam memperoleh warna
khasnya dari lingkungan serta status hidup seseorang ( hidup
menikah dan berkeluarga, membujang atau menjanda… ) dan dari aktivitas
professional dan sosial orang yang bersangkutan. Apa pun juga lingkungan
itu (termasuk komunitas Batak berikut punguan marga-marga), setiap orang telah
menerima talenta yang harus dikembangkan. Demikian ia bekerjasama dengan
anugerah yang diberi oleh Roh Kudus kepadanya. ”
Dalam Umat Allah terdapat
bentuk konkret spiritualitas yang berbeda-beda sesuai dorongan rahmat,
kepribadian orang yang bersangkutan dan lingkungan hidupnya. Spiritualitas atau
kehidupan rohani mencakup seluruh kehendak orang beriman dan tampak sebagai ”
buah Roh Kudus” dalam doa, kegembiraan rohani, pengorbanan dan pelayanan sesama
manusia. Sumber dan ukuran spiritualitas mana pun adalah kehidupan
Kristus seperti tersurat dalam Injil ( Yoh 6,29 ; 8,12). Maka, spiritualitas
dapat disebut ” mengikuti jejak Kistus” atau mengikuti panggilan yang dasarnya
adalah iman dan pembaptisan.
Karena hubungan dengan Allah
bersifat pribadi an seringkali spontan, maka bentuknya sangat bervariai. Para
gembala umat harus mengindahkan gerakan-gerakan Roh, walaupun mereka
berkewajiban menguji keasliannya. Sebab segala rahmat yang berlain-lainnan
berasal dari satu Roh yang sama ” demi pembangunan umat.”. Roh ini sudah
mengilhami dan membimbing para nabi serta tokoh-tokoh Perjanjian Lama, para
Rasul dan Bapa-bapa Gereja. Roh inilah yang menjiwai dan menuntun Umat Allah
sekarang ini juga. Maka spiritualitas sejati selamanya spiritualitas
gerejani. Dalam Umat terdapat kebebasan Roh dan kesamaan dalam pokok-pokok
iman.
Umat Krisen di Indonesia menghadapi
masalah inkulturasi kehidupan rohani Kristiani di alam rohani Indonesia. Supaya
segala bakat manusiawi mendukung pengembangan hidup rahmat ilahi dengan
sebaik-baiknya. Seperti semua agama besar, agama Kristen datang dari arah Barat.
Oleh karena itu bentuk konkret Kristianitas yang diperkenalkan di Indonesia itu
dibina berabad-abad lamanya di lingkungan kebudayaan Barat. Karena itu
harus dipikirkan dan dihayati unsur-unsur lahiriah manakah yang mendukung
kehidupan rohani umat Kristen Indonesia dan mana yang tidak.
Bentuk kehidupan rohani seperti
berkembang di Eropa berabad-abad lamanya tentu saja mengandung berbagai unsur
khas Kristiani serta manusiawi yang umum, tetapi juga unsur-unsur lain yang
bercorak khas Eropa. Unsur-ubsur pertama dapat dan harus diterima dengan hati
terbuka, tetapi unsur-unsur kedua harus dipertimbangkan dengan seksama, mana
yang sebaiknya diterima, antara lain karena berkat modernisasi menjadi milik
umat manusia seluruhnya abad sekarang ini. Tentu saja , terdapat juga ciri dan
unsur yang tidak perlu diambil alih.
Masyarakat Indonesia masih dalam
proses mewujudkan kebudayaan Indonesia atas dasar sekian banyak kebudayaan
kesukuan dan sekaligus bergumul dengan mengejar apa yang disebut kebudayaan
mondial dan modern.
Kehidupan rohani yang sejati tidak
tumbuh begitu saja, biasanya memerlukan waktu dan mengalami pergumulan sebelum
mencapai bentuk dan cara yang agak sempurna. Sama halnya seperti proses
pendewasaan seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar